Senin, 03 Februari 2014




Bab 2
Shiwa yang Keras dan Lembut

Dalam ceramahku yang terakhir kujelaskan bahwa manusia hadir di bumi ini sekitar satu juta tahun yang lalu. Tetapi usia peradaban manusia sekitar 15000 tahun. Jika mańd́ala (bab) pertama Rg Weda yang kuno itu dianggap sebagai titik permulaan, maka usianya tidak melebihi dari 15000 tahun. Namun peradaban di masa itu tidaklah seperti yang kita lihat sekarang. Umat manusia saat itu hanya mengikuti norma-norma di bidang-bidang tertentu yang masih minim – tidak lebih dari itu.
                  Shiwa lahir sekitar 7000 tahun lalu, atau 8000 tahun setelah permulaan penyusunan Rg Weda, yakni pada masa akhir dari jaman Rg Weda dan pada masa permulaan dari jaman Yayur Weda. Peradaban yang ada pada jaman Rg Weda bisa kita sebut sebagai periode Pra-Shiwa, dan peradaban pada masa Yayur Weda  bisa disebut sebagai periode Pasca-Shiwa. Dari apa yang kita lihat di periode permulaan dan pertengahan Rg Weda,  kita bisa menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah sosial yang teratur belum begitu berkembang. Kehidupan sosial sama sekali tidak teratur. Sistem matriarkal[7] sedang mengalami kemerosotan, dan memberikan jalan bagi sistem patriarkal. Di bawah sistem patriarkal,  orde  patrilineal[8] dan sistem patriarkal hidup berdampingan. Tetapi di masa itu tradisi yang pasti belum berkembang. Sebagai contoh, orde matrilineal waktu itu ada sampai jaman kehidupan Budha dan Mahawiir Jain – sekitar 2500 tahun yang lalu. Pada jaman Shiwa, sistem matriarkal belum begitu tampak, tetapi orde matrilineal sedang dalam kekuatan penuh. Keberadaan sistem patriarkal perlu didukung oleh keberadaan orde patrilineal, dan untuk mengembangkan orde patrilineal ini, maka orang tua laki-laki harus diidentifikasi terlebih dahulu.
Orde patrilineal berkembang dengan cara demikian: setiap komunitas biasanya hidup di atas bebukitan, dan bukit itu akan dinamai sesuai dengan kepala suku laki-laki yang menjadi pemimpin kawasan bukit itu. Masa-masa kepemimpinan wanita sudah berlalu, dan pada masa itu, laki-lakilah yang menjadi pemimpin kelompok. Dalam Sansekerta, sebuah bukit disebut dengan gotra. Komunitas manusia tertentu biasanya hidup di atas bukit, dan resi tertentu akan diakui sebagai bapak atau pemimpin komunitas, seperti halnya gotramata, atau pemimpin suku wanita, dulunya ada di jaman matriarkal. Misalnya, ada seorang resi, pertapa, bernama Maharesi Kashyapa, hidup di atas sebuah bukit; maka biasanya bukit itu akan dinamai sesuai dengan nama resi itu. Resi yang lain, katakanlah Maharesi Bharadwaja, mungkin hidup di bukit yang lain; maka bukit itu pun akan menggunakan namanya. Dengan cara inilah maka tata cara untuk menentukan gotra seseorang mulai tumbuh. Pada masing-masing gotra, seorang resi atau pemimpin laki-laki akan diterima sebagai kepala gotra itu; inilah caranya sehingga sistem patriarkal berkembang. Sistem kepemimpinan wanita sudah berakhir, tetapi orde matrilineal masih ada setelah itu, sampai pada jaman Budha.
                  Shiwa tidak memberikan perhatian yang khusus pada sistem matrilineal, matriarkal, patrilineal atau patriarkal. MaksudNya semata-mata agar memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk maju dengan cara alami. Tetapi ketika saat itu menjadi kebutuhan untuk mempertahankan kepemimpinan laki-laki, maka gotra seseorang harus ditentukan. Shiwa memberikan saran-saran kepada pengikutNya, “Jangan membuat pertentangan di antara kalian sendiri dengan mengatas-namakan gotra”. Sebelum masa itu seringkali terjadi konflik-konflik antar suku-suku yang hidup di bukit-bukit yang berbeda-beda. Shiwa melarang konflik-konflik itu dan berkata, “Kalian yang mencintai Aku, yang mematuhi Aku, seharusnya menerima hukum-hukum kebaikan tentang norma-norma disiplin. Kalian perlu memproklamir-kannya kepada dunia, “Sejak saat ini, kita tidak boleh terus terpisah-pisah di dalam beragam gotra, dan mendirikan benteng penyekat rekayasa di antara kita. Menghancurkan semua rintangan, kita semua sebaiknya duduk dan makan minum bersama-sama di bangunan yang sama, terikat oleh ikatan satu keluarga manusia. Kita menolak untuk terus-menerus  dikotak-kotakkan ke dalam beragam suku – kita, pengikut Shiwa, adalah milik dari satu gotra, yaitu gotra Shiwa. Atmagotram parityaja Shivagotram pravishatu (tinggalkanlah sukumu, dan masuklah ke dalam gotra Shiwa).”
Shiwa memperkenalkan ide revolusioner ini ke dalam masyarakat dan meruntuhkan semua sentimen-sentimen sempit, seperti geo-sentimen, sosio-sentimen, dll. Para pemimpin dari sentimen-sentimen itu lalu segera melawan dan mengkritik dengan tajam.
                  Di tataran sosial, Shiwa memainkan peran yang sangat aktif dalam melenyapkan perbedaan-perbedaan di antara angota-anggota masyarakat. Shiwa punya tiga istri – Parwati, seorang wanita Arya berkulit terang; Kali, seorang wanita non-Arya berkulit gelap; dan Gaunga, seorang wanita ras Mongolian berkulit kuning. Shiwa bermaksud menyatukan orang-orang dengan meluluhkan perbedaan sosial. Dia berupaya sekuat tenaga sepanjang hidupNya untuk menyatukan benih-benih masyarakat manusia, yang sedang tercarut-marut dan terkotak-kotak ke dalam banyak kelompok dan sub-kelompok, dan memimpin mereka ke arah pencapaian tertinggi.
                  Masyarakat manusia pada masa itu belum dihadapkan pada masalah ekonomi, jadi Shiwa tidak melakukan usaha apapun yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi. Politik belum terbentuk dalam masyarakat, jadi dalam tataran politikpun Dia tidak melakukan pembenahan apapun. Tetapi ada aspek-aspek kehidupan lain yang membutuhkan perhatianNya. Berkenaan dengan dunia intelektual, instruksi Shiwa yang sangat jelas adalah, “Berhati-hatilah kepada mereka yang memecah-belah orang-orang, mereka yang berusaha mendirikan sekat-sekat pemisah di antara manusia-manusia yang sederhana dan polos, dengan menyulutkan geo-sentimen [sentimen karena kedekatan geografis] dan sosio-sentimen [sentimen karena kedekatan sosial]. Orang-orang semacam ini adalah lokavyamohakarakah – mereka menyusupkan penyakit pikiran sempit ke dalam pikiran manusia – kalian harus waspada dengan mereka.
                  Shiwa melihat  bahwa di masa Rg Weda, chanda (ritme) sudah dikenal, tetapi raga dan raginii [melodi musik Oriental atau Asia] sama sekali belum ditemukan. Kita tidak bisa beranggapan bahwa semua gubahan ritme disebut sebagai musik! Misalnya seseorang menciptakan bunyi-bunyi tidak harmonis dalam ritme-ritme tertentu – maka ini tentu saja tidak bisa disebut sebagai musik.
                  Terdapat tujuh chanda di jaman Weda, yang dimulai sejak jaman Rg Weda. Ketujuh chanda itu adalah gáyattriiuśńiik, triśt́up, anuśt́up, jagati, brhatii dan paunkti. Rg Savitri (yakni komposisi Weda yang ditujukan untuk Tuhan, Kesadaran Agung) dalam súkta kesepuluh dari mandala ketiga Rg Weda, digubah menggunakan chanda Gayatrii. Kadang kala orang salah menyebut chanda Gayatrii sebagai mantra Gayatrii.
                  Jadi orang-orang di masa itu sudah terbiasa dengan chanda, tetapi tidak dengan sura-saptaka musik [oktaf Oriental]. Setelah observasi yang seksama, Shiwa menyimpulkan bahwa suara-suara yang dihasilkan oleh bermacam-macam burung dan hewan memiliki penyesuaian yang harmonis dengan gerak gelombang yang ada di alam semesta. Langkah ke delapan, atau not yang kedelapan dari harmoni ini sangat mirip dengan not yang pertama.
                  Berbasiskan suara-suara dari tujuh hewan, Shiwa mengembangkan tujuh not musik, sura-saptaka musik, yang membuat ritme menjadi lebih manis dan indah, terdiri dari suara burung merak (śad́aja), lembu jantan (rśabha), kambing (gándhára), kuda (madhyama), burung tekukur (paiṋcama), keledai (dhaevata), dan gajah (niśáda). Dengan mengambil awalan dari ketujuh suara – sa dari śad́aja, re dari rśabha, ga dari gándhára, ma dari madhyama, pa dari paiṋcama, dha dari dhaevata dan ni dari niśáda, Shiwa menciptakan delapan not musik sa-re-ga-ma-pa-dha-ni-sa. Pada langkah kedelapan, suara pertama diulang kembali, walaupun dalam skala yang berbeda.
                  Pada wilayah-wilayah di dunia di mana pengaruh Shiwa sedikit, ke delapan not skala musik ini akan sedikit berbeda dari yang pertama. Sehingga melalui permutasi dan kombinasi, banyak sekali jenis-jenis suara bisa dihasilkan. Jadi dalam musik Barat, kita temukan do-re-mi-fa-sol-la-ti-do: dengan kata lain, ”do” mengulangi do pada akhir skala. Oleh karena itulah maka musisi Barat menyebut skala “oktaf”[9]  bukannya sura-saptaka (arti literalnya, “tujuh not”).
Jadi dengan menemukan tujuh not musik, Shiwa membuat dunia ritme menjadi lebih manis dan merdu. Ini bukanlah pencapaian yang umum.
                  Musik di dunia masa sekarang ini seluruhnya didasarkan dari ketujuh not musik ini. Merupakan sebuah penyesalan yang dalam, bahwa orang-orang telah melupakan ilmu musik ini, yang pondasinya diletakkan atas dasar perjuangan keras Shiwa. Di masa kini, alih-alih melihat musik sebagai aset berharga dalam latihan spiritual, orang-orang hanya melihatnya sebatas hobi, atau cara mencari penghidupan, atau sekedar melewatkan waktu. Usaha keras seperti yang dilakukan Shiwa sehingga bisa menemukan ilmu ini terang sekali tidak ada lagi di jaman sekarang.
Ár ki Bhárate áche se yantra
Ár ki áche se mohana mantra
Ár ki áche se madhura kańt́ha
Ár ki áche se práń
Sethá ámi kii gáhiba gán!
(Aku heran di manakah di India instrumen-instrumen musik yang sempurna itu –
Di mana not-not yang mempesona itu?
Di mana suara-suara yang merdu itu?
Di mana roh musik itu?
Aduh, musik macam apa yang akan aku nyanyikan sekarang?).
                  Untuk pertanyaan tersebut, jawabanku adalah: jika pengikut Shiwa membuat bahkan hanya satu persen saja dari kemajuan yang dibuat oleh Shiwa, maka India dan juga dunia bahkan alam semesta ini dijamin pasti akan mengembalikan suara-suara merdu dan not-not yang mempesona itu. Tidak ada alasan untuk berangan-angan. Jika orang-orang, cukup dengan mengembangkan keberanian mereka, disiplin dan kesederhanaan, dan membuat usaha keras, maka sukses akan datang secara otomatis. Harta yang hilang dari masa lalu akan ditemukan kembali bagi masyarakat manusia.
                  Shiwa tidak hanya memberikan bentuk sistematis dari musik saja – bahkan sampai kini orang-orang memanfaatkan buah dari hasil penelitianNya dalam bidang fonetik. Fonetik tergantung pada ilmu pernafasan, ilmu pernafasan masuk dan pernafasan ke luar. Dengan dasar ilmu ini, Shiwa menanamkan dunia ritme dengan mudrá[10]. Dia memantapkan harmoni di antara ritme dan tari, dan melengkapinya dengan mudrá.
                  Di dalam masyarakat Pra-Shiwa jaman Rg Weda, sudah ada chanda, tetapi tidak ada mudrá. Dengan tujuan untuk mencapai keahlian di dalam pendalaman Weda, para siswa harus menguasai enam Vedauṋga, yakni enam cabang pengetahuan Weda: chanda (ilmu tentang ritme), kalpa [penjelasan dari doa-doa], nirukta (lexicography-teknik penyusunan kamus), jyotiśa (astronomi), vyákarańa (tata bahasa), dan ayurweda atau dhanurweda (ilmu pengobatan). Ini membuktikan bahwa orang-orang pada masa itu  sudah mengenal chanda dengan baik.
                  Lalu mengapa Shiwa memperkenalkan mudrá di dalam musik? Dia memperhatikan bahwa di dalam tubuh beragam makhluk, banyak kelenjar dalam keadaan terlalu aktif maupun kurang aktif, atau produksi berlebih maupun kurang produksi. Sebagai akibatnya, makhluk-makhluk ini mengekspresikan dirinya dengan cara yang berbeda-beda. Shiwa melakukan penelitian secara mendalam terhadap semua faktor tersebut, dan akhirnya menciptakan mudrá. Setiap mudrá punya pengaruh pada kelenjar manusia dengan cara tertentu dan akibatnya mempengaruhi pikiran manusia. Inilah sumbangsih Shiwa yang luar biasa pada dunia tari. Di masa itu, orang-orang salah memahami gerak-gerak yang tak teratur sebagai tarian; setelahnya, di dalam gerak tangan dan kaki yang tak beraturan ini ditambahkan sejumlah ritme Weda. Tetapi ini belumlah bisa diterima sebagai tarian klasik. Hanya setelah dilengkapi dengan mudrálah statusnya meningkat menjadi tarian klasik.
                  Berkenaan dengan tarian táńd́ava yang diciptakan oleh Shiwa, aku akan berbicara setelah ini.
                  Lalu begitu juga jika hanya sekedar memukul genderang, maka ini bukanlan sebuah seni perkusi (vádya). Ia harus diharmoniskan dengan tidak hanya ritme dan skala musiknya, tetapi juga dengan ritme dan mudrá dari tarian. Shiwapun sendirian melengkapi semuanya ini ke dalam seni perkusi; sebelum itu, sistem tersebut sama sekali belum ada.
                  Shiwa tidak hanya menciptakan tarian, lagu dan musik instrumental (nrtya, giita, dan vádya); Dia juga menyebarkan pengetahuan musik kepada orang-orang. Dia memilih Maharesi Bharata sebagai kandidat ideal dan mengatakan kepadanya, “Engkau harus mengajarkan ilmu musik kepada setiap orang yang punya hasrat untuk mempelajarinya, tanpa pertimbangan kasta mapun kelompok. Engkau bisa mempertimbangkan hanya satu hal: apakah orang itu punya keinginan besar di dalam dirinya atau tidak.” Shiwa memberikan bentuk yang sistematis dan struktur yang jelas pada semua hal yang belum dirumuskan sampai saat itu. Dia menyediakan sistem tidak hanya dalam musik tetapi juga dalam setiap ekspresi kehidupan manusia, sehingga semuanya bisa melangkah maju dalam irama tertentu, dan tidak ada apapun yang dilakukan dengan serampangan.
                  Sebelum Shiwa, tidak ada sistem pernikahan di dalam masyarakat. Karena tidak ada sistem pernikahan, maka kepemimpinan wanita menjadi populer di mana-mana, karena lebih mudah untuk mengidentifikasi ibu, dibandingkan dengan ayah yang sulit untuk diidentifikasi. Shiwa, untuk pertama kalinya, memperkenalkan sistem pernikahan yang berlanjut sampai saat ini. Kata Sansekerta untuk pernikahan, viváha (dari vi-vaha+ghain), secara literalnya berarti, “untuk mengikuti sistem tertentu.” Sistem pernikahan ini disebut dengan Shaeva viváha. Menurut sistem ini, kedua pengantin akan menerima tanggung-jawab  yang sama bagi pernikahan mereka, tanpa pertimbangan kasta maupun kelompok. Shiwa berada di atas semua bentuk geo-sentimen dan sosio-sentimen.
                  Selanjutnya, untuk mengimplementasikan suatu prinsip atau ideologi, maka orang membutuhkan keteguhan, khususnya bagi para pemimpin di masyarakat, bagi para pembaharu, pembawa obor gerakan baru. “Kita harus menjaga keutuhan tujuan di hadapan kita, dan teruslah melangkah menuju tujuan itu. Kita tidak boleh menyimpang dari tujuan kita, apapun aral yang melintang di tengah jalan. Sekali mulai melangkah, kita tidak boleh berhenti atau melihat ke belakang.”
                  Prárabhyate na khalu vighnabhayena niicaeh prárabhya vighnavihatáh viramanti madhyáh;
Vighnaer muhurmuhurapi pratihańyamánáh prárabhya uttamáh janáh na parityajanti.
Di dunia ini, orang-orang yang tidak memulai suatu aktivitas karena takut akan perlawanan, adalah manusia dalam kategori terendah. Lalu mereka yang memulai aktivitas, tetapi ketika dihadapkan pada banyak rintangan, meninggalkan tugas mereka dengan rasa takut, adalah kategori menengah. Dan mereka yang memulai suatu aktivitas, dan ketika dihadapkan pada rintangan di setiap langkahnya, melawan dan melumpuhkannya, dan perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan mereka, adalah manusia kategori tertinggi. Hanya mereka yang bisa mencapai sesuatu yang substansial di dunia ini. Shiwa adalah manusia kategori ini. Dia adalah menyeramkan – bila saja Dia kurang menakutkan, Dia tidak akan menyelesaikan begitu banyak perbuatan yang luhur. Tetapi apakah Dia seram dalam setiap hal? Sejauh hal yang berkaitan dengan ideologiNya, Ia sangat – sangat, sangat keras dan kaku. Tetapi dalam tindakan eksternal, dalam berhadapan dengan orang-orang, Dia sangat halus dan berhati lembut. Sebelum ini orang-orang di dunia tidak pernah melihat keseimbangan yang sempurna antara kekerasan dan kelembutan hati di dalam diri seseorang seperti Shiwa. Jadi semua orang, karena rasa hormat yang dalam, menerima superioritas Beliau sambil menekuk lutut dan menundukkan kepala.
                  Tumi komale kat́hore rudraviińáy
Shánti sáyare sikta
Tumi páoyá ná-páoyár
Saba bedanár úrddhve
Sadá ácha nirlipta
Tumi madhurase pariśikta.
[Engkau yang keras hati dan tenang,
Mengenggam rudraviinaMu[11].
Engkau tenggelam di dalam samudera kedamaian,
Engkau melampaui semua rasa pencapaian dan kehilangan.
Engkau tidak melekat pada apapun,
Engkau tenggelam dalam aliran kebahagiaan.]
                  Kelembutan Shiwa sangat dikenal luas. Di manapun kita bertemu dengan orang yang baik dan lemah lembut, kita katakan, “Alangkah baiknya orang ini! Dia sebaik Shiwa”. Tetapi Shiwa yang lembut juga Shiwa yang keras hati; sehingga dengan demikian Dia bisa menunjukkan jalan yang baru bagi dunia – sebuah tindakan yang mana membuat orang-orang saat ini, dan juga di masa depan, akan selalu berhutang budi. Kenyataannya, semasih kemanusiaan itu ada, maka apresiasi mereka tak akan pernah selesai.
                  Kemudian, sumbangsih terbesar Shiwa pada kemanusiaan adalah konsep tentang dharma[12]. Di sini perlu diingat bahwa pada masa Shiwa, banyak orang Arya sudah sampai di India, banyak yang masih dalam perjalanan, dan banyak yang masih dalam persiapan untuk datang. Di antara para Arya itu, tidak ada konsep dharma yang jelas; mereka tidak punya kesadaran spiritual atau hasrat spiritual. Setiap resi akan menciptakan pandangan-pandangan mereka yang berbeda satu sama lain.
Vedáh vibhinnáh smrtayo vibhinnáh;
Naekamuniryasya mataḿ nábhinnam.
                  (Weda-weda lain, kitab-kitab sosial juga lain;
Tidak ada satupun resi yang tidak berbeda dengan yang lain.)
Seperti yang telah aku katakan sebelumya, setiap suku terbiasa hidup di bukit-bukit yang terpisah, dan pemimpin dari suku itu dihormati seperti halnya para resi dalam suku itu. Hubungan orang-orang di dalam gotra ditandai dengan nama seorang resi. Pada saat sistem patriarkal menjadi mapan, anggota-anggota satu gotra akan dengan paksa menculik wanita dari gotra yang lain untuk dibawa ke dalam gotra mereka, ke dalam wilayah bukit mereka. Jadi segera setelah perkawinan, gotra wanita ini akan berubah, dia akan menjadi anggota gotra yang baru, bagian dari bukit yang baru.
Semuanya itu akhirnya membawa suku-suku itu ke dalam konflik-konflik berdarah. Mereka yang dikalahkan di dalam peperangan akan ditangkapi sebagai budak dan wanitanya disimpan oleh sang pemenang. Suku yang menang juga akan menduduki bukit, atau gotra dari suku yang dikalahkan. Jadi di dalam satu gotra, ada banyak sub-gotra, yang disebut pravara.
Para wanita ditangkap dengan paksa, tangan-tangan mereka diikat dengan rantai besi. Bahkan sampai sekarang, wanita di Bengal dan sejumlah wilayah lain mengenakan gelang besi setelah pernikahan mereka – ini adalah simbol dari perbudakan kuno. Setiap orang harus memahaminya dengan jelas. Laki-laki yang menyerang bukit tetangga akan mengikat wanitanya dan membawanya menuruni bukit. Sampai sekarangpun, selama upacara pernikahan di beberapa tempat di India, busana pengantin wanita diikatkan pada busana pengantin pria. Perbudakan dari gotra yang kalah ini merupakan penghinaan yang luar biasa, khususnya bagi para wanita. Kadang kala, selama pertempuran, laki-laki akan memukulkan kapak di kepala wanita, yang menyebabkan darah ke luar. Sampai sekarangpun, pada saat pernikahan, wanita mencolekkan kosmetik berwarna merah terang di kening mereka – sebuah simbol darah. Bagaimanapun, Shiwa, dengan memperkenalkan sistem pernikahan Shiwa, mengakhiri bagian sejarah manusia yang memalukan ini.
Kita mendiskusikan tentang pandangan hidup dharma pada masa itu. Apapun yang dikatakan oleh para resi, anggota suku akan mematuhinya. Pandangan para resi disebut dengan Árśa Dharma. Weda tidak menciptakan suatu sistem dharma. Árśa Dharma yang berkembang melalui proses seperti di atas semata-mata hanya koleksi dari ajaran para resi dan muni (para bijaksana dan cendekiawan), dan ajaran-ajaran mereka akan berbeda-beda sesuai dengan perubahan waktu. Sebagai contoh, Árśa Dharma pada periode Rg Weda akan berbeda dengan Árśa Dharma periode Yayur Weda, dan dalam periode Atharwa Weda, akan lebih berbeda lagi. Jadi Árśa Dharma berbeda-beda dari satu Weda dengan Weda yang lain. Sistem menyanyikan mantra, maupun pelafalannya, juga bervariasi. Misalnya, bahasa Bengali khususnya akan mengikuti tata cara pelafalan Yayur Weda, sedangkan bahasa Gujarati mengikuti tata cara Rg Weda; jadi, pelafalan juga akan bervariasi sesuai dengan perubahan waktu. Tata cara menyanyikan mantra juga bervariasi, contohnya:
Sahasrashiirśá Puruśah sahasrákśah sahasrapát;
Sa bhúmiḿ vishvato vrtvá’tyatiśt́haddasháun
̭gulam.
 [Rg Weda Puruśasúktam]
                  Weda yang lain akan mengatakan;
Sa bhúmiḿ sarvato sprśt́yá atyatiśt́haddhasháḿgulam.
Weda lain juga berbeda;     
Sarvato vrttvátyatiśt́haddasháḿgulam.
                  Jadi kita lihat bahwa mantra-mantra juga bervariasi dari satu Weda dengan Weda yang lainnya.
Lebih jauh lagi, non-Arya, atau penduduk asli India yang tidak di-Aryanisasi, dijadikan budak oleh para Arya dan bahkan tidak diijinkan untuk mengucapkan mantra Oṋḿ, yang menjadi mantra utama dalam Kitab Weda orang Arya. Kemudian, pada saat wanita kehilangan statusnya [menjanda], merekapun tidak diijinkan untuk mengucapkan mantra Oṋḿ. Para non-Arya dan wanita biasanya akan mengucapkan mantra Namah sebagai ganti dari mantra OṋḿÁrśa Dharma, atau agama Arya, berbasiskan pada diskriminasi demikian.
Dalam kenyataannya, Árśa Dharma bukanlah dharma – yang tidak lain dari geo-sentimen, yang kadang kala dikombinasikan dengan sosio-sentimen. Hal ini berlangsung dalam periode yang lama. Shiwa memperhatikan bahwa sedikitpun ini bukanlah dharma. Dia melihat dengan mendalam psikologi manusia dan menemukan bahwa manusia sebenarnya tidak membutuhkan kesenangan – mereka sebenarnya membutuhkan kedamaian absolut: kedamaian adalah lebih baik dari kesenangan. Orang tidak akan menemukan kedamaian dengan melakukan yadnya (persembahan), tidak juga dengan mengorbankan binatang di atas api persembahan. Mereka bisa memuaskan nafsu mereka dengan menyantap daging, tapi mereka tak akan menemukan kedamaian dengan cara demikian. Shiwa menunjukkan manusia bagaimana cara mencapai kedamaian; dan jalan menuju kedamaian abadi ini tidak bisa disebut sebagai jalan pencapaian yang biasa, tetapi pencapaian tertinggi. Di sini realisasi spiritual adalah langsung (aparokśánubhúti). Jalan ini, seperti ditunjukkan oleh Shiwa, disebut dengan Shiwa Dharma.
Tentu saja, Tantra sudah ada sebelum Shiwa, tetapi masih dalam bentuk yang kacau. Tidak tertata dengan baik. Seperti yang telah kujelaskan, Shiwa membuat semuanya sistematis dan teratur. Dia membawa sintesis yang harmonis antara Tantra yang tercerai-berai dengan hasrat-hasrat spiritual manusia untuk meraih pencapaian tertinggi, dan menciptakan Shiwa Dharma, yang melampaui semua bentuk geo-sentimen dan sosio-sentimen. Jalan Shiwa ini, yang merupakan kombinasi sempurna dari praktek Tantra yang sudah ada dengan proses-prosesNya yang praktis, menjadi penyesuaian ideal terhadap dunia luar dengan dunia dalam. Walaupun demikian, praktek ini tidak bisa bertahan di tengah derasnya perubahan waktu. Salah satu alasannya adalah di masa itu tidak dimungkinkan untuk menulis karena tulisan belum ditemukan. Pengetahuan hanya diturunkan melalui mulut ke mulut, tidak dengan tulisan. Wedapun tidak bisa ditulis karena alasan yang sama.
Jauh setelahnya, ketika Weda-weda sudah ditulis, banyak bagiannya sudah hilang. Bagaimanapun kerasnya usaha kita untuk menemukan bagian yang hilang itu, sungguh disayangkan bahwa ini tidak akan bisa dikembalikan lagi. Banyak ajaran Shiwa juga hilang dengan alasan yang sama, karena orang-orang belum mempunyai pengetahuan tentang abjad. Shiwa Tantra ini lalu mengilhami orang-orang untuk menuju kebenaran tertinggi di satu sisi, dan di sisi yang lain juga memotivasi orang, “Jangan abaikan dunia luar. Peliharalah penyesuaian yang seimbang dengan dunia luar.” InstruksiNya adalah, " Varttámaneśu vartteta” (Hidup di saat sekarang). Usahakanlah menembus ke dalam pikiranmu sedalam mungkin, dan teruslah melangkah – Caraeveti, caraeveti – maju terus, maju terus. Tetapi jangan lupakan dunia luar, karena jika engkau mengabaikan kenyataan eksternal itu, maka kedamaian di dalam dirimu juga akan terganggu.”
Shiwa Dharma ini kemudian menjadi dharma esensial di India. Di dalam dharma ini tak ada seorangpun yang terabaikan – tidak non-Arya tidak juga para wanita dan orang dari kasta terendah yang tak tersentuh.
Di jaman Weda, kelas wanita telah diabaikan dan diperlakukan semata-mata sebagai obyek kesenangan; sedangkan di masa Shiwa mereka dinyatakan sebagai kelas para ibu. Karena pengaruh Shiwa relatif lebih banyak di Bengal, di sana kita masih mendapatkan kebiasaan untuk menyebut wanita yang tidak kita kenal dengan sebutan , [yang artinya ibu]. Dalam bahasa Bengali, bibi disebut dengan másimá (saudara perempuan ibu), pishimá (ayah saudara perempuan), dll.; jadi, kata má dibubuhi dengan kehormatan saat memanggil seorang wanita. Dan karena sistem matriarkal masih berlaku di Bengal sampai derajat tertentu, di sana para wanita tidak diputuskan hubungannya dari garis keturunan ayah. Setelah pernikahan gotra mereka berubah, sudah pasti, tetapi mereka masih punya hubungan dengan garis keturunan ayah mereka. Dengan alasan ini seorang keponakan laki-laki akan mewarisi harta dari paman maternalnya [saudara ibu] jika pamannya ini meninggal tanpa keturunan.
Shiwa Dharma adalah dharma untuk mencapai Tuhan, jadi tidak ada ritual eksternal di dalamnya. Tidak ada ritual untuk mempersembahkan ghee [semacam mentega], atau pengorbanan darah binatang dalam yadnya [upacara korban]; ini juga bukan jalan mencapai kepuasan diri. Para pengikut Shiwa Dharma dengan suara yang menggelegar memproklamirkan bahwa dharma adalah jalan menuju pencapaian tertinggi – bukan jalan kesenangan hewaniah.
Diipta hayeche hiḿsá-anal kalyáńe mati nái
Bhoga-hutáshan jvaliche bhiiśań sakali kariche chái.
Náhi bhakti-kusuma kśema náhi udár snigdha prema
Shmashán-ándhár heri cáridhár kothay áloka pái
Bhoga-hutáshan jvaliche bhiiśań sakali kariche chái.
Brthá yajiner anuśt́ thán shat niśt́hur balidán
Dharmer bháńe vásaná dánavii mánavii mánave pújiiche tai.
Bhoga-hutáshan jvaliche bhiiśań sakali kariche chái.
  [Api kekerasan sudah dinyalakan,
  tidak ada lagi hasrat bagi kesejahteraan dalam pikiran.
  Api ganas kepuasan diri, berkobar, membakar semuanya menjadi abu.
  Tidak ada kembang rasa bhakti, tak ada bunga-bunga kebaikan, Tidak juga ada cinta kasih yang tanpa pamrih dan menyejukkan.
                    Aku lihat di semua sisi serasa kegelapan di kuburan –
                    Di mana aku akan menemukan cahaya?
  Api ganas kepuasan diri, berkobar, membakar semuanya menjadi abu.
  Ritual-ritual telah gagal.
  Akibat seratus upacara yang kejam.
  Atas nama dharma orang-orang memuja nafsu raksasa.
  Api ganas kepuasan diri, berkobar, membakar semuanya menjadi abu.]
                Pencapaian tertinggi dharma adalah pemusatan semua hasrat untuk melakukan aksi menuju Iśt́a (Tujuan Tertinggi).
Seperti yang kukatakan sebelumnya, Shiwa adalah kombinasi dari kekerasan dan kelembutan. Dalam kehidupan sehari-harinya, Dia adalah lembut, sangat lembut – bahkan lebih lembut dibandingkan kembang yang lembut dan Shiwa mengakui bahwa manusia bisa melakukan kesalahan suatu saat, karena mereka adalah manusia dan bukan dewa. Meskipun dewa-dewa dalam Weda, seperti Indra, dewa energi atau raja para dewa; atau Agni dewa api; atau Waruna dewa air, dll., juga membuat kesalahan – apalagi dengan manusia biasa?
Shiwa sangat paham akan psikologi manusia. Dia percaya bahwa mereka yang melakukan kesalahan hari ini akan memperbaikinya esok. Jika tanpa disengaja seseorang terjatuh hari ini dan pakaiannya kotor berlumpur, kenapa dia tidak diberikan kesempatan untuk mengganti pakaian dengan yang lebih bersih esok? Jadi Shiwa berkata, “Mereka yang melakukan kesalahan – maka hukum dia dengan senjata trisulamu. Tetapi di saat dia memperbaiki diri dari kesalahannya, ampuni dia dan dudukkan dia di atas pangkuanmu.” Apapun yang dilakukan Shiwa tujuannya adalah untuk perbaikan manusia. Namah pinákahastáya vajrahastáya vae namah: ketika memberikan sujud kepada Shiwa, para bhaktanya akan berkata, “O Shiwa, pengendali pináka [genderang] dan vajra [petir], aku bersujud di hadapanMu. VajraMu bukanlah untuk menyakiti orang; tetapi berguna untuk membuat mereka menjadi baik, untuk melindungi mereka dari bahaya.”
Pada momen orang yang salah merubah dirinya, maka Ia akan melupakan segala kesalahan orang itu, seluruh kelakuan buruk mereka di masa lalu. Jadi semua orang berdosa, dan semua yang insaf, berdoa kepada Shiwa dengan lutut ditekuk, “O Junjunganku, siapa lagi kecuali Engkau yang bisa memberikan aku perlindungan? Engkau adalah Bolanáth[13] bagiku – Aku melakukan begitu banyak dosa, tetapi segera setelah aku memperbaiki diri, Engkau ampuni aku. O, begitu cepatnya Engkau puas! Engkau ini sungguh-sungguh Ashutoś[Ia yang mudah untuk dipuaskan].”
Ketika para Asura, yang paling dibenci oleh Arya, mendekati Shiwa untuk mendapatkan perlindungan dari Arya, Dia selalu siap memberikan mereka perlindungan. Siapakah Asura itu? Di Asia Tengah, ada sebuah negara yang bernama Assyria, yang penghuninya adalah non-Arya, dan sangat bengis kepada Arya. Arya luar biasa benci kepada mereka. Sampai sekarangpun, sejumlah keturunan dari komunitas Asura ini bisa dijumpai di distrik Palamau dan beberapa wilayah di India modern. Asura bukanlah makhluk aneh yang tingginya 50 kaki, dengan hidung, telinga dan gigi ekstra besar. Sebaliknya, mereka adalah manusia biasa. Satu-satunya perbedaan saat itu adalah mereka tidak akan menerima apapun yang datangnya dari Arya – norma-norma perilaku Arya, agama Arya, dll. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Aryanisme memuakkan bagi mereka. Inilah satu-satunya perbedaan antara Arya dengan Asura, dan dengan alasan inilah maka para Arya melihat pembunuhan orang Asura sebagai suatu aksi kebaikan. Asura-asura mendekati Shiwa untuk sebuah perlindungan, dan Shiwa selalu menganugerahinya.
Kalian mungkin memperhatikan bahwa dalam sejumlah lukisan bahwa Asura berdoa di hadapan Shiwa dan menyanyikan puji-pujian, dan Shiwa memberikan karunia dan maju ke depan membantu mereka berperang melawan para dewa. Di sini dewa-dewa berarti Arya, yang bersumpah untuk memusnahkan semua Asura. Mirip dengan masa yang belum lama lewat di mana Arya sudah hampir berhasil memusnahkan suku Maorii di benua Australia, mirip seperti Arya yang hampir berhasil memusnahkan beberapa suku di India. Serupa dengan ini, Arya berusaha untuk memusnahkan Asura. Tetapi Shiwa melindungi mereka. Dia akan berkata, “Jika Aku tidak melindungi mereka, lalu siapa lagi yang mampu memberikan keamanan bagi mereka?” Aku tidak setuju bahwa Arya sebagai sebuah ras adalah lebih superior dan Asura adalah inferior. Tak ada seorangpun bisa meyakinkan diriku tentang hal ini.
Shiwa dilahirkan di tengah-tengah atmosfir penuh konflik antara Arya dengan non-Arya, tetapi Dia selalu menyimpan keinginan yang tulus bahwa semua ras – Arya, non-Arya, dan Mongolian[14] – akan hidup berdampingan dengan damai. Kenyataannya, Dia bekerja terus-menerus  tanpa henti untuk mencapainya. Dan agar hidup dalam damai dan harmonis, maka haruslah ada ideologi tertinggi yang bisa diterima oleh semuanya, karena di mana ada perbedaan ideologi, maka konflik fisik antar individu dan grup pasti akan terjadi, akhirnya kehidupan sosial yang damai menjadi mustahil. Untuk itu Shiwa memberikan satu ideal di hadapan mereka: “Ingat, kalian semua adalah anak-anak dari Bapa Yang Agung, kalian semua berhak untuk hidup di atas bumi ini sebagai putra-putra dan putri-putri Bapa Kosmik itu. Dan aku selalu siaga untuk membantu memantapkan diri kalian di dalam mewarisi harta kosmik ini dan mengembangkan kehidupan ideologis.”

Kalikata, 18 April 1982

Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (di Ananda Marga Yoga Bali)


[1] Namámi Krsnasundaram, 1981.
[2] Makna katanya, “India Raya”. Dalam konteks ini berarti sebuah gerakan yang dipimpin oleh Krsna untuk menyatukan India, dan bukan epik (cerita kepahlawanan) dari gerakan ini.
[3] Buku dengan judul Sabhyatár Ádibindu – Ráŕh, 1981.
[4] Dua huruf vokal dan dua konsonan yang pertama dalam bahasa Sansekerta.
[5] Catatan dari penulis: dari tulisan-tulisan yang ada di Asia Selatan, tulisan Shriiharśa memiliki keaslian nomor dua setelah tulisan Sáradá (tulisan Káshmiirii). Sebuah manuskrip ditulis dalam tulisan Sáradá kuno bisa ditemukan di museum sejarah di tempat tinggal penulis di Kalikata.
[6] Perwujudan khusus dari Kesadaran Agung.
[7] Pada sistem matriarkal pucuk pimpinan ada di tangan ibu, sebaliknya pada sistem patriarkal pucuk pimpinan ada di tangan ayah.
[8] Orde  patrilineal adalah menurut garis keturunan ayah, sedangkan orde matrilineal adalah menurut garis keturunan ibu.
[9] Berasal dari kata Latin yang berarti “delapan”.
[10] Mudrá adalah  gerak-gerak simbolis yang menjadi karakteristik tari-tarian Asia.
[11] Viińá milik Shiwa yang menghasilkan suara yang kuat dan juga merdu. Viińá adalah alat musik yang mirip dengan sitar.
[12] Dharma berarti, “karakteristik bawaan”. Karakteristik esensial bawaan manusia adalah hasrat untuk mencapai Tuhan melalui moralitas dan latihan spiritual.
[13] Ia yang mudah sekali melupakan kelakuan buruk orang lain.
[14] Karena di masa lalu Mongolia adalah sebuah kekaisaran, yang merupakan simbol dari Asia Utara dan Timur Laut, maka “Mongolia” di sini berarti Oriental, atau ras kuning.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar