Senin, 03 Februari 2014




Bab 1
Perkenalan Dengan Shiwa



Sebelumnya aku pernah menjelaskan perihal Krsna[1], bahwa masa hidupNya bisa dibagi ke dalam dua periode: periode pertama adalah Vrajagopála, dan kedua adalah Párthasárathi. Di antara keduanya, Párthasárathi tidak selalu mudah untuk ditemui, dan situasi yang sebaliknya terjadi pada Vrajagopála. Kukatakan juga bahwa Mahabharata[2]  telah terwujud berkat Krsna, namun sudah pasti bahwa seluruh kehidupan Krsna tidak ditentukan oleh Mahabharata. Krsna ada tanpa Mahabharata, tetapi Mahabharata tidak akan bisa ada tanpa Krsna.
                  Berkenaan dengan Shiwa kita katakan bahwa kehidupanNya tidak bisa dibagi ke dalam dua bagian seperti Krsna itu. Sejak awal, Dia adalah entitas yang ada di mana-mana. Kapanpun, dalam masyarakat manusia yang masih terbelakang dan sederhana di kala itu, di manapun ada masalah rumit muncul, Shiwa selalu ada di sana untuk memecahkannya.  Jadi kita tidak bisa membagi dan menganalisa hidup dan pribadiNya ke dalam penggalan-penggalan, tidak juga kita bisa menulis sejarah pada masa itu dengan cara demikian. Pada saat yang sama harus diakui bahwa, jika mempertimbangkan peranNya yang unik di dalam membangun kebudayaan dan peradaban manusia, maka budaya maupun peradaban ini tak akan bisa ada tanpa Beliau. Tetapi Shiwa akan tetap ada dengan kesempurnaanNya, bercahaya di dalam kejayaanNya, yang bisa dipisahkan dari kebudayaan dan peradaban manusia. Sehingga dengan demikian, untuk menulis sejarah yang tepat, semata-mata untuk kepentingan masyarakat manusia sekarang maupun di masa jauh ke depan, maka Shiwa tidak bisa diabaikan.
                  Mari kita analisa dulu arti kata Shiwa. Dalam usaha untuk mencari makna kata Shiwa, kita harus paham apakah bahasa Sansekerta dipakai pada saat itu atau tidak. Sebagian orang berpendapat bahwa Sansekerta diimpor dari Asia Tengah, tetapi agaknya ini tidak benar. Sebaliknya akan lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa pada masa itu telah ada  bahasa-bahasa yang hampir identik satu sama lain, terbentang mulai dari dataran Asia Tengah sampai Eropa Timur dan Asia Tenggara. Kemudian, salah satu cabang dari bahasa tersebut yang dulunya populer di Asia Tenggara disebut dengan Sansekerta, sedangkan bahasa yang dipakai di bagian barat daya adalah bahasa Weda.
                  Kaum Arya datang bermigrasi ke India dari luar, ini tidak diragukan lagi, namun pengaruh Arya tidaklah begitu jelas di Asia Tenggara, demikian juga di bagian barat daya India. Weda datang ke India bersama Arya, namun Sansekerta adalah bahasa asli di India; tidak datang dari luar. Kuuraikan tentang fakta ini dengan jelas pada bukuku yang baru yang mengulas tentang Ráŕh.[3]
                  Adalah mustahil untuk mencari jejak usia bahasa Weda yang sebenarnya, karena satu-satunya kitab yang tersedia dalam bahasa ini adalah Rg Weda yang kuno, dan Rg Weda di masa itu belumlah ada dalam bentuk tulisan. Manusia waktu itu sama sekali belum mengenal huruf-huruf a, á, ka, kha[4] dll.
                  Abjad-abjad – berupa tulisan Bráhmii, tulisan Kharośt́hi, dan tulisan-tulisan setelahnya yang lahir dari keduanya, ditemukan pada jaman berkisar 5000 sampai 7000 tahun yang lalu. Tulisan Sáradá, Náradá, dan Kut́ilá adalah turunan dari tulisan Bráhmii, dan tulisan Shriiharśa[5] adalah turunan dari tulisan Kut́ilá. Tulisan yang dipakai dalam Bengali modern adalah tulisan Shriiharśa.
                  Penyusunan Rg Weda dimulai sekitar 15000 tahun yang lalu. Tulisan sama sekali belum ditemukan pada masa itu. Tidaklah salah untuk menyatakan bahwa walaupun ras manusia telah ada di atas bumi sekitar satu juta tahun lalu, namun peradabannya baru dimulai sekitar 15000 tahun lalu. Ini memperlihatkan bahwa peradaban dan budaya manusia belum begitu tua jika dibandingkan dengan tuanya ras manusia. Kita tidak meremehkan peradaban ini karena menganggapnya begitu baru, tetapi kitapun tidak bisa mengatakan bahwa peradaban ini sudah tua.
                  Pada masa kehidupan Shiwa, kaum Arya mulai memasuki India dari barat daya. Banyak dari mereka sudah datang sebelumnya, banyak masih dalam perjalanan, dan banyak yang masih dalam persiapan untuk datang. Bahasa Weda milik bangsa Arya yang telah tiba di India memberikan pengaruh yang sangat luas pada dialek bahasa yang dimiliki oleh penduduk asli di India saat itu, seperti Kash, Scythians, Euchi, Kusan Selatan, dll. Sangat jelas, Sansekerta, bahasa populer masyarakat asli pada masa setelahnya, tidaklah berada di luar lingkup pengaruh bahasa Weda; namun pengaruh tersebut bukanlah satu arah saja; atau dengan kata lain, bahasa Weda juga dipengaruhi oleh Sansekerta.
                  Tantra aslinya berasal dari  India, dan Shiwa memberikan sitematisasi bentuknya. Tentu saja, Tantra dalam aliran Káshmiirii dan Gaoriiya telah eksis sebelum Shiwa, namun dalam wujud yang kacau dan kasar. Jadi sudah wajar bahwa orang harus mengakui bahwa Shiwa dilahirkan dan dibesarkan di dalam lingkungan Tantra, walaupun bukan Tantra klasik.
                  Shiwa sangat ahli dalam bahasa Weda maupun agama Weda. Baik di dalam Kitab-kitab suci Weda dan Tantra, kita akan menemukan acuan tentang Shiwa, tetapi tidak pada teks-teks yang sangat kuno, karena tidak memungkinkan untuk menuliskannya pada masa yang sangat kuno itu, karena kurangnya pengetahuan mengenai abjad. [Akibatnya banyak sekali pengetahuan yang hilang].
                  Teks-teks Tantra sering menyarankan orang, “Engkau lakukan ini, engkau lakukan itu, engkau seharusnya mendengar dan mempelajari pelajaran-pelajaran ini dari gurumu, dst.; karena pada masa itu tidaklah mungkin untuk menulis buku, sebab huruf belum ditemukan. Weda-weda juga akan menyarankan orang dengan cara yang sama – untuk mendengar dan mempelajari langsung dari guru. Dengan alasan inilah maka Weda disebut dengan shruti dalam Sansekerta. Shruti berarti “telinga”; jadi sesuatu yang dipelajari dengan cara mendengar adalah shruti.
                  Periode Shiwa adalah masa yang paling kacau di India. Di satu sisi ada Arya, yakni bangsa pendatang, dan di sisi lain ada masyarakat asli, dengan budaya dan agama yang berorientasi pada Tantra. Di dalam lingkungan yang penuh konflik inilah Shiwa dilahirkan.
                  Sekarang, apakah arti literal dari Shiva? Dari teks-teks yang masih ada tentang Tantra dan Weda dan dari semua sumber yang tertulis maupun yang tidak, kita mendapatkan tiga makna kata Shiva. Pertama dan yang paling penting adalah “kesejahteraan” (Kalyáńa atau maungala).
Anádyanantamakhilasya madhye
Vishvasya sraśt́aramanekarúpam;
Vishvasyaekaḿ pariveśt́araḿ
Jin
̭átvá Shivaḿ shántimatyantameti.
                  [Menyadari Shiwa, yang tanpa awal dan tanpa akhir.     Pencipta alam semesta ini, Entitas tunggal berwujud banyak yang mengarahkan seluruh jagat raya ini – orang akan meraih kedamaian abadi].
                  Di sini Shiwa berarti “kesejahteraan”, Shivamastu artinya sama dengan Kalyáńamastu, “Engkau akan diberkahi”. Kalyáńasundaram adalah representasi dari Shiwa, yang merupakan perwujudan semangat pemberkahan.
                  Orang-orang mengatakan bahwa Dia memberikan pelayanan pada mereka, melakukan hal baik kepada mereka, melalui lima wajah. Dia digambarkan sebagai paincavaktram, atau “mempunyai lima wajah”: dua di kiri – Vamadeva dan Kalagni; dua di kanan – Daksineshvara dan Iishana; dan satu di tengah Kalyáńasundaram, Penguasa  Agung yang mengendalikan semua keinginan manusia untuk berbuat.
                  Daksineshvara adalah wajah kanan jauh Shiwa, disebut demikian karena Dia mencurahkan cinta dan kasih sayang (daksina) bagi semua makhluk ciptaan. Inilah peran khusus yang diberikan kepada Daksineshvara. Iishana – wajah sebelah kanan – bertanggung-jawab  mengendalikan semua jiwa, insan-insan individu, dengan perhatian yang luar biasa. Dan Kalyáńasundaram, wajah di tengah, memainkan peran dalam mengendalikan  semua wajah-wajah yang lain.
                  Sekarang pertanyaannya, mengapa Kalyáńasundaram diberikan peran demikian? TujuanNya semata-mata adalah untuk memberikan kesejahteraan maksimal kepada semua makhluk; Dia tidak punya tujuan yang lain. Sebagai tambahan, Shiwa punya dua wajah di kiri: Vamadeva di kiri jauh, dan Kalagnii di sebelah kiri. Vamadeva sangat menyeramkan – rudra, rudratirudra, rudropirudrah – ia yang mengajarkan orang lain dengan membuat mereka menangis. Namun maksud di baliknya adalah untuk mengajarkan orang, bukan menyakiti mereka. Wajah yang lain, Kalagnii, juga membuat orang menderita, tetapi di sini tujuan utamanya juga adalah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
                  Dua wajah, Vamadeva dan Kalagnii, dikendalikan oleh wajah di tengah, yakni Kalyáńasundaram, Dia adalah sundaram, indah, karena Dia membawa Kalyáńa, atau kesejahteraan; dengan demikain, Kalyáńa Sundaram. Dia itu menakutkan, tetapi sekaligus juga sangat tenang dan tenteram. Namun di balik keseraman dan ketenangan ini juga terletak Kalyáńasundaram bhava (aliran mental). Dia adalah menakutkan maupun meneduhkan, oleh sebab itu sudah wajar bila orang-orang mencintai Dia. Meskipun Dia itu menyeramkan, orang masih tetap menjunjungNya, karena di balik keangkeranNya, juga ada keteduhan. Jadi peran Shiwa yang utama adalah pembawa kesejahteraan. Makna pertama dari Shiwa adalah Kalyáńa, “kesejahteraan.”
                  Makna kedua dari Shiwa adalah “kesadaran di dalam status puncaknya” – posisi klimaks dari Prinsip Kesadaran, Proses Non-atribusional Agung, atau Entitas Non-atribusional Agung, yang melampaui segala belenggu [dari Prakrti atau Máyá]. Pada saat yang tepat aku akan menjelaskan dengan rinci kedua makna di atas.
                  Lalu makna ketiga adalah Sadashiwa, yang dilahirkan ke dunia sekitar 7000 tahun lalu – dan Ia yang berkat kelahiran suciNya, memberkahi  semua dan setiap partikel debu di atas bumi ini dan memanfaatkan seluruh hidupNya untuk tujuan terpenting, yakni meningkatkan kesejahteraan universal. Ingatlah, aku tidak katakan “kesejahteraan manusia”, karena di dunia kita ini, tidak hanya ada manusia, tetapi juga ada burung-burung dan hewan-hewan, tanaman dan pepohonan. Shiwa adalah milik semua; dan untuk semua makhluk ciptaan, Dia mempersembahkan semua milikNya. Oleh karena itulah orang menyebut Dia Sadáshiva; sada berarti “selalu”, dan shiva berarti “kesejahteraan”. Jadi Sadáshiva berarti “Ia yang satu-satunya sumpah keberadaanNya adalah membangun kesejahteraan setiap makhluk di semua bidang.” Aku akan menjelaskan tentang kepribadian yang luar biasa ini secara bertahap. Aku berharap kalian akan benar-benar mampu menangkap kedalaman penjelasan mengenai pribadi yang hebat ini, tokoh yang luar biasa ini.
Sekarang masih tersisa pertanyaan: di tengah kegelapan yang membutakan, apakah hanya manusia  yang tertarik pada sentuhan cahaya? Tentu saja semua menginginkannya. Semua mencari cara untuk tumbuh ke luar dari kebodohan kegelapan eksistensial menuju kehangatan kehidupan, untuk akhirnya menikmati terpenuhinya hasrat-hasrat hidup mereka. Sampai saat ini, manusia belum mampu membuat penghargaan yang pantas bagi pribadi besar ini, sang Mahásambhúti[6], yang memberikan manusia kesempatan pertama untuk merasakan­ manis nikmatnya pemenuhan semua hasrat mereka. Tak ada seorangpun yang berbicara banyak mengenai Beliau sampai saat ini.
Mengapa orang-orang sampai gagal dalam memberikan penghargaan tersebut adalah masalah yang tidak penting sekarang. Sudah menjadi  tugas kewajiban setiap individu untuk mengetahui dan mengevaluasi sumbangsih yang telah diberikan oleh Shiwa, dan di dalam proses evaluasi ini, tentu tidak mungkin untuk melalaikan kepribadian besar itu sendiri. Siapapun akan mendapatkan keceriaan dari kemilau cahaya yang berasal dari sebuah entitas yang bersinar, tetapi tanpa adanya entitas itu sendiri, maka kebahagiaannya tidak akan lengkap.

Kalikata, 11 April 1982 

Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (Ananda Marga Yoga Bali)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar