Bab 1
Perkenalan Dengan Shiwa
Sebelumnya aku pernah menjelaskan perihal Krsna[1], bahwa masa hidupNya
bisa dibagi ke dalam dua periode: periode pertama adalah Vrajagopála, dan kedua adalah Párthasárathi.
Di antara keduanya, Párthasárathi
tidak selalu mudah untuk ditemui, dan situasi yang sebaliknya terjadi pada Vrajagopála. Kukatakan juga bahwa Mahabharata[2] telah terwujud berkat Krsna, namun sudah pasti
bahwa seluruh kehidupan Krsna tidak ditentukan oleh Mahabharata. Krsna ada
tanpa Mahabharata, tetapi Mahabharata tidak akan bisa ada tanpa Krsna.
Berkenaan dengan Shiwa
kita katakan bahwa kehidupanNya tidak bisa dibagi ke dalam dua bagian seperti
Krsna itu. Sejak awal, Dia adalah entitas yang ada di mana-mana. Kapanpun, dalam
masyarakat manusia yang masih terbelakang dan sederhana di kala itu, di manapun
ada masalah rumit muncul, Shiwa selalu ada di sana untuk memecahkannya. Jadi kita tidak bisa membagi dan menganalisa hidup
dan pribadiNya ke dalam penggalan-penggalan, tidak juga kita bisa menulis
sejarah pada masa itu dengan cara demikian. Pada saat yang sama harus diakui
bahwa, jika mempertimbangkan peranNya yang unik di dalam membangun kebudayaan
dan peradaban manusia, maka budaya maupun peradaban ini tak akan bisa ada tanpa
Beliau. Tetapi Shiwa akan tetap ada dengan kesempurnaanNya, bercahaya di dalam
kejayaanNya, yang bisa dipisahkan dari kebudayaan dan peradaban manusia.
Sehingga dengan demikian, untuk menulis sejarah yang tepat, semata-mata untuk
kepentingan masyarakat manusia sekarang maupun di masa jauh ke depan, maka Shiwa
tidak bisa diabaikan.
Mari kita analisa dulu
arti kata Shiwa. Dalam usaha untuk mencari makna kata Shiwa, kita harus paham
apakah bahasa Sansekerta dipakai pada saat itu atau tidak. Sebagian orang
berpendapat bahwa Sansekerta diimpor dari Asia Tengah, tetapi agaknya ini tidak
benar. Sebaliknya akan lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa pada masa itu telah
ada bahasa-bahasa yang hampir identik
satu sama lain, terbentang mulai dari dataran Asia Tengah sampai Eropa Timur
dan Asia Tenggara. Kemudian, salah satu cabang dari bahasa tersebut yang dulunya
populer di Asia Tenggara disebut dengan Sansekerta, sedangkan bahasa yang dipakai
di bagian barat daya adalah bahasa Weda.
Kaum Arya datang bermigrasi
ke India dari luar, ini tidak diragukan lagi, namun pengaruh Arya tidaklah
begitu jelas di Asia Tenggara, demikian juga di bagian barat daya India. Weda
datang ke India bersama Arya, namun Sansekerta adalah bahasa asli di India;
tidak datang dari luar. Kuuraikan tentang fakta ini dengan jelas pada bukuku
yang baru yang mengulas tentang Ráŕh.[3]
Adalah mustahil
untuk mencari jejak usia bahasa Weda yang sebenarnya, karena satu-satunya kitab
yang tersedia dalam bahasa ini adalah Rg Weda yang kuno, dan Rg Weda di masa itu
belumlah ada dalam bentuk tulisan. Manusia waktu itu sama sekali belum mengenal
huruf-huruf a, á, ka, kha[4] dll.
Abjad-abjad – berupa
tulisan Bráhmii, tulisan Kharośt́hi, dan tulisan-tulisan
setelahnya yang lahir dari keduanya, ditemukan pada jaman berkisar 5000 sampai
7000 tahun yang lalu. Tulisan Sáradá, Náradá,
dan Kut́ilá adalah turunan dari
tulisan Bráhmii, dan tulisan Shriiharśa[5] adalah turunan
dari tulisan Kut́ilá. Tulisan yang
dipakai dalam Bengali modern adalah tulisan Shriiharśa.
Penyusunan Rg Weda
dimulai sekitar 15000 tahun yang lalu. Tulisan sama sekali belum ditemukan pada
masa itu. Tidaklah salah untuk menyatakan bahwa walaupun ras manusia telah ada
di atas bumi sekitar satu juta tahun lalu, namun peradabannya baru dimulai
sekitar 15000 tahun lalu. Ini memperlihatkan bahwa peradaban dan budaya manusia
belum begitu tua jika dibandingkan dengan tuanya ras manusia. Kita tidak
meremehkan peradaban ini karena menganggapnya begitu baru, tetapi kitapun tidak
bisa mengatakan bahwa peradaban ini sudah tua.
Pada masa kehidupan
Shiwa, kaum Arya mulai memasuki India dari barat daya. Banyak dari mereka sudah
datang sebelumnya, banyak masih dalam perjalanan, dan banyak yang masih dalam
persiapan untuk datang. Bahasa Weda milik bangsa Arya yang telah tiba di India
memberikan pengaruh yang sangat luas pada dialek bahasa yang dimiliki oleh penduduk
asli di India saat itu, seperti Kash, Scythians, Euchi, Kusan Selatan, dll.
Sangat jelas, Sansekerta, bahasa populer masyarakat asli pada masa setelahnya,
tidaklah berada di luar lingkup pengaruh bahasa Weda; namun pengaruh tersebut bukanlah
satu arah saja; atau dengan kata lain, bahasa Weda juga dipengaruhi oleh Sansekerta.
Tantra aslinya berasal
dari India, dan Shiwa memberikan sitematisasi
bentuknya. Tentu saja, Tantra dalam aliran Káshmiirii
dan Gaoriiya telah eksis sebelum Shiwa,
namun dalam wujud yang kacau dan kasar. Jadi sudah wajar bahwa orang harus
mengakui bahwa Shiwa dilahirkan dan dibesarkan di dalam lingkungan Tantra,
walaupun bukan Tantra klasik.
Shiwa sangat ahli
dalam bahasa Weda maupun agama Weda. Baik di dalam Kitab-kitab suci Weda dan
Tantra, kita akan menemukan acuan tentang Shiwa, tetapi tidak pada teks-teks
yang sangat kuno, karena tidak memungkinkan untuk menuliskannya pada masa yang
sangat kuno itu, karena kurangnya pengetahuan mengenai abjad. [Akibatnya banyak
sekali pengetahuan yang hilang].
Teks-teks Tantra
sering menyarankan orang, “Engkau lakukan ini, engkau lakukan itu, engkau
seharusnya mendengar dan mempelajari pelajaran-pelajaran ini dari gurumu, dst.;
karena pada masa itu tidaklah mungkin untuk menulis buku, sebab huruf belum
ditemukan. Weda-weda juga akan menyarankan orang dengan cara yang sama – untuk
mendengar dan mempelajari langsung dari guru. Dengan alasan inilah maka Weda
disebut dengan shruti dalam Sansekerta.
Shruti berarti “telinga”; jadi
sesuatu yang dipelajari dengan cara mendengar adalah shruti.
Periode Shiwa
adalah masa yang paling kacau di India. Di satu sisi ada Arya, yakni bangsa
pendatang, dan di sisi lain ada masyarakat asli, dengan budaya dan agama yang
berorientasi pada Tantra. Di dalam lingkungan yang penuh konflik inilah Shiwa
dilahirkan.
Sekarang, apakah
arti literal dari Shiva? Dari
teks-teks yang masih ada tentang Tantra dan Weda dan dari semua sumber yang
tertulis maupun yang tidak, kita mendapatkan tiga makna kata Shiva. Pertama dan yang paling penting
adalah “kesejahteraan” (Kalyáńa
atau maungala).
Anádyanantamakhilasya
madhye
Vishvasya sraśt́aramanekarúpam;
Vishvasyaekaḿ pariveśt́araḿ
Jiṋátvá Shivaḿ shántimatyantameti.
Vishvasya sraśt́aramanekarúpam;
Vishvasyaekaḿ pariveśt́araḿ
Jiṋátvá Shivaḿ shántimatyantameti.
[Menyadari Shiwa, yang tanpa awal
dan tanpa akhir. Pencipta alam
semesta ini, Entitas tunggal berwujud banyak yang mengarahkan seluruh jagat
raya ini – orang akan meraih kedamaian abadi].
Di sini Shiwa
berarti “kesejahteraan”, Shivamastu artinya
sama dengan Kalyáńamastu, “Engkau
akan diberkahi”. Kalyáńasundaram
adalah representasi dari Shiwa, yang merupakan perwujudan semangat pemberkahan.
Orang-orang
mengatakan bahwa Dia memberikan pelayanan pada mereka, melakukan hal baik
kepada mereka, melalui lima wajah. Dia digambarkan sebagai paincavaktram, atau “mempunyai lima wajah”: dua di kiri – Vamadeva dan Kalagni; dua di kanan – Daksineshvara
dan Iishana; dan satu di tengah Kalyáńasundaram, Penguasa Agung yang mengendalikan semua keinginan
manusia untuk berbuat.
Daksineshvara adalah wajah kanan jauh Shiwa,
disebut demikian karena Dia mencurahkan cinta dan kasih sayang (daksina) bagi semua makhluk ciptaan.
Inilah peran khusus yang diberikan kepada Daksineshvara.
Iishana – wajah sebelah kanan – bertanggung-jawab mengendalikan semua jiwa, insan-insan individu,
dengan perhatian yang luar biasa. Dan Kalyáńasundaram,
wajah di tengah, memainkan peran dalam mengendalikan semua wajah-wajah yang lain.
Sekarang
pertanyaannya, mengapa Kalyáńasundaram diberikan
peran demikian? TujuanNya semata-mata adalah untuk memberikan kesejahteraan
maksimal kepada semua makhluk; Dia tidak punya tujuan yang lain. Sebagai
tambahan, Shiwa punya dua wajah di kiri: Vamadeva
di kiri jauh, dan Kalagnii di
sebelah kiri. Vamadeva sangat
menyeramkan – rudra, rudratirudra,
rudropirudrah – ia yang mengajarkan orang lain dengan membuat mereka
menangis. Namun maksud di baliknya adalah untuk mengajarkan orang, bukan
menyakiti mereka. Wajah yang lain, Kalagnii,
juga membuat orang menderita, tetapi di sini tujuan utamanya juga adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dua wajah, Vamadeva dan Kalagnii, dikendalikan oleh wajah di tengah, yakni Kalyáńasundaram, Dia adalah sundaram, indah, karena Dia membawa Kalyáńa, atau kesejahteraan; dengan
demikain, Kalyáńa Sundaram. Dia itu
menakutkan, tetapi sekaligus juga sangat tenang dan tenteram. Namun di balik
keseraman dan ketenangan ini juga terletak Kalyáńasundaram
bhava (aliran mental). Dia adalah menakutkan maupun meneduhkan, oleh sebab
itu sudah wajar bila orang-orang mencintai Dia. Meskipun Dia itu menyeramkan,
orang masih tetap menjunjungNya, karena di balik keangkeranNya, juga ada
keteduhan. Jadi peran Shiwa yang utama adalah pembawa kesejahteraan. Makna
pertama dari Shiwa adalah Kalyáńa,
“kesejahteraan.”
Makna kedua dari Shiwa
adalah “kesadaran di dalam status puncaknya” – posisi klimaks dari Prinsip
Kesadaran, Proses Non-atribusional Agung, atau Entitas Non-atribusional Agung, yang
melampaui segala belenggu [dari Prakrti atau
Máyá]. Pada saat yang tepat aku
akan menjelaskan dengan rinci kedua makna di atas.
Lalu makna ketiga
adalah Sadashiwa, yang dilahirkan ke dunia sekitar 7000 tahun lalu – dan Ia
yang berkat kelahiran suciNya, memberkahi
semua dan setiap partikel debu di atas bumi ini dan memanfaatkan seluruh
hidupNya untuk tujuan terpenting, yakni meningkatkan kesejahteraan universal.
Ingatlah, aku tidak katakan “kesejahteraan manusia”, karena di dunia kita ini,
tidak hanya ada manusia, tetapi juga ada burung-burung dan hewan-hewan, tanaman
dan pepohonan. Shiwa adalah milik semua; dan untuk semua makhluk ciptaan, Dia
mempersembahkan semua milikNya. Oleh karena itulah orang menyebut Dia Sadáshiva; sada berarti “selalu”, dan shiva
berarti “kesejahteraan”. Jadi Sadáshiva
berarti “Ia yang satu-satunya sumpah keberadaanNya adalah membangun
kesejahteraan setiap makhluk di semua bidang.” Aku akan menjelaskan tentang
kepribadian yang luar biasa ini secara bertahap. Aku berharap kalian akan benar-benar
mampu menangkap kedalaman penjelasan mengenai pribadi yang hebat ini, tokoh
yang luar biasa ini.
Sekarang masih tersisa pertanyaan: di tengah kegelapan yang
membutakan, apakah hanya manusia yang
tertarik pada sentuhan cahaya? Tentu saja semua menginginkannya. Semua mencari
cara untuk tumbuh ke luar dari kebodohan kegelapan eksistensial menuju kehangatan
kehidupan, untuk akhirnya menikmati terpenuhinya hasrat-hasrat hidup mereka.
Sampai saat ini, manusia belum mampu membuat penghargaan yang pantas bagi pribadi
besar ini, sang Mahásambhúti[6], yang memberikan
manusia kesempatan pertama untuk merasakan manis nikmatnya pemenuhan semua
hasrat mereka. Tak ada seorangpun yang berbicara banyak mengenai Beliau sampai
saat ini.
Mengapa orang-orang sampai gagal dalam memberikan
penghargaan tersebut adalah masalah yang tidak penting sekarang. Sudah menjadi tugas kewajiban setiap individu untuk
mengetahui dan mengevaluasi sumbangsih yang telah diberikan oleh Shiwa, dan di
dalam proses evaluasi ini, tentu tidak mungkin untuk melalaikan kepribadian
besar itu sendiri. Siapapun akan mendapatkan keceriaan dari kemilau cahaya yang
berasal dari sebuah entitas yang bersinar, tetapi tanpa adanya entitas itu
sendiri, maka kebahagiaannya tidak akan lengkap.
Kalikata, 11 April
1982
Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (Ananda Marga Yoga Bali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar