Tujuh Tes Guru
Selama bulan Oktober 1971, Ananda Marga mengalami masa krisis – baik spiritual maupun organisasi. Sebuah DMC diselenggarakan di Calcutta. Kami sedang menunggu mulainya Dharsan Umum (General Dharsan) malam. Prosedurnya adalah bahwa pertama-tama Srimati Uma, istri Baba, akan keluar dan memberikan ceramah spiritual. Setelah itu Baba akan memberikan ceramah-Nya. Kami biasanya memanggil istri Baba “Ma” dan memberi hormat.
Pada malam DMC, tiba-tiba Asisten Pribadi Baba muncul dengan dua atau tiga
orang pekerja pusat dan berbicara tentang sistem pelaporan. Ia mulai berbicara
tentang bagaimana Baba memberikan hukuman yang sangat berat kepada para
pekerja. Ia mengkritik dengan keras hal ini, dan juga aspek lain dari sistem
organisasi Baba. Kemudian, ia membisikkan pada kami semua dengan mengumumkan
bahwa Srimati Uma tidak sepaham dengan Baba sehubungan dengan beberapa
permasalahan organisasi, dan bahwa dia dan anak laki-lakinya, Gautam, akan
meninggalkan-Nya. Setelah pengumuman yang mengejutkan tersebut, Srimati Uma
pergi dengan beberapa kelompok dada lain. Drama yang sukar dipercaya
benar-benar terjadi dihadapan kami sepanjang malam DMC tersebut. Kami terkejut
dan tak mampu berkata-kata, berada dalam kegalauan dan tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Seperti biasa, setelah berapa lama, Baba datang untuk General Dharsan. Kami semua sangat penasaran ingin mengetahui
secara langsung dari Baba apa yang tengah terjadi. Namun, Baba sepenuhnya dalam
keadaan tenang, seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun (kekurangan yang
terjadi pada malam DMC itu sendiri). Beliau memberikan ceramah spiritual dan
kemudian meninggalkan kediaman-Nya.
Hari berikutnya, acara DMC berlalu dengan tenang tanpa insiden apapun.
Setelah DMC, Baba tetap tinggal di Calcutta untuk beberapa hari. Dia kemudian
pergi ke Patna, Bihar.
Saat itu aku pekerja lapangan di Wilayah Timur, yang merupakan bagian Timur
dari India. Di Bengal Barat dan khususnya dekat Calcutta, terdapat banyak
unit-unit Ananda Marga. Semua Margii di unit-unit tersebut sangat kecewa karena
insiden ini, dan khususnya karena istri dan anak laki-laki yang dipuja-puja
oleh Baba telah meninggalkan-Nya. Mereka tidak dapat memulihkan rasa sakit dari
fakta yang sulit diterima ini. Sangat sulit sekali bagiku untuk menghadapi para
Margii dan memberikan jawaban yang sesuai atas sejumlah pertanyaan yang
mengganggu mereka. Tak seorangpun dapat dan ingin mempercayainya bahwa istri
dari Guru kami, Lord Anandamurtiji, dapat meninggalkan-Nya dan keluar dari
organisasi. Secara pribadi, aku juga penasaran bagaimana mungkin ia
meninggalkan Baba. Tetapi, insiden tersebut terjadi tepat dihadapanku. Aku juga
telah melihat Baba melanjutkan tugas-Nya dengan sikap yang tenang dan santai,
seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Meskipun aku terluka dan bingung, namun,
merasa terobati oleh kenyataan bahwa insiden yang tak menyenangkan tersebut
tidak mempengaruhi kesabaran Baba. Dimanapun aku bertemu para Margii, mereka
akan bertanya padaku dengan pertanyaan yang sangat menusuk tentang insiden yang
menggangguku, karena tidak dapat memberikan jawaban yang memadai dan
meyakinkan. Bahkan, aku menjadi semakin terganggu.
Aku tak tahan lagi. Pertentangan ini tak tertahankan lagi. Bagaimana
mungkin ia meninggalkan Baba? Apa ia bukan seorang Yang Telah Menyadari Tuhan?
Bila ia, sebagai istri-Nya, tidak dapat menyadari atau memahami sifat alami
yang sesungguh-Nya, lalu bagaimana mungkin kami akan menyadari-Nya? Mengapa
Baba tak mampu melihat insiden ini, dan mencegah-Nya? Bila Baba benar-benar Parama Purusa dan mengetahui segalanya,
bagaimana mungkin ia membiarkan hal ini terjadi ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terngiang-ngiang dalam kepalaku.
Permasalahannya semakin buruk, para Margii terus bertanya, “Bila Baba bahkan
tak mampu mengendalikan istri-Nya sendiri, maka bagaimana mungkin Ia mampu
mengendalikan para pengikut-Nya? Bagaimana mungkin Ia mampu mengendalikan Alam
Semesta? Bagaimana mungkin ia mampu menciptakan dan membangun misi spiritual?
Apakah Srimati Uma dan yang lainnya yang pergi dengannya tidak melakukan
meditasi mereka secara teratur? Dan jika, mereka melakukan meditasi, bagaimana
mungkin mereka mengalami kejatuhan spiritual, bagaimana mungkin mereka jatuh
dari jalan spiritual, jatuh bukan kepalang? Jika melakukan sadhana tidak ada jaminan aman dalam jalan spiritual, maka untuk apa
aku harus bermeditasi?”
Aku semakin bingung, karena tak mampu menjawab semua pertanyaan sulit yang
sangat kasar dan memalukan tersebut. Bukan hanya para Margii saja yang mencari
jawaban atas pertanyaan tersebut; Aku juga membutuhkan jawaban yang tepat guna
mengatasi kebingunganku.
Dalam keadaan mental yang galau ini, suatu kekuatan misterius tampaknya
memaksaku pergi ke Patna menemui Baba secara langsung, meskipun pikiran
obyektifku tak ingin bertemu dengan-Nya. Bahkan, aku agak marah pada Baba yang
membiarkan kejadian buruk ini muncul.
Setelah tiba di Patna, aku memutuskan untuk memakan sedikit puris dan jalebi panas, yaitu manisan kumparan berwarna oranye untuk sarapan
pagi. Aku pikir lebih baik aku beristirahat dahulu dan mandi. Setelah
menyelesaikan kegiatan tersebut, kemudian aku bermeditasi. Ternyata, aku telah
menunda meditasiku setelah melakukan seluruh kegiatan, jelas sekali menunjukkan
betapa gelisahnya aku. Aku tak memberitahu orang-orang mengenai kedatanganku, karena aku tak ingin bertemu siapapun
pada saat itu.
Aku membawa
makanan dan tiba di gedung dimana para dada tinggal di Patna. Atas alasan
tertentu, saat tiba di sana, aku merasa kurang nyaman hingga harus mandi.
Setelah mandi dalam keadaan dingin namun menyegarkan tersebut, aku mulai
mencukur. Saat itu bulan November dan musim dingin baru saja mulai dengan angin
yang sangat dingin. Aku berusaha memakai turban untuk menghindari udara dingin.
Ketika aku sedang memakai turban,
Dada PA tiba-tiba masuk ke dalam ruanganku dan berkata, “Baba, memanggilmu
sekarang.”. Ia langsung menarikku ke dalam jeepnya tanpa memberiku kesempatan
untuk bersiap-siap.
Di perjalanan, ketika sedang duduk dalam jeep, aku berpikir dalam hati
bagaimana mungkin Baba tahu aku datang di Patna yang baru tiba 40 menit? Siapa
yang memberitahu kedatanganku? Dalam sekejap, kami tiba di kediaman Baba.
Saat tiba, aku mendengar bel Baba berbunyi. Dada PA segera berlari menuju
ke dalam ruangan-Nya. Ketika ia membuka pintu, aku melihat Baba keluar dengan
wajah yang amat tampan, tersenyum dan penuh daya tarik. Aku tak berdaya di
hadapan-Nya. Baba berkata padaku dengan suara lembut, “Mari kita jalan-jalan.”
Kemudian Baba masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian. aku mengikuti-Nya.
Aku tak berkata sepatah kata pun, hanya duduk diam di samping-Nya. Meskipun
jarak fisik antara kami hanyalah beberapa inci, dalam batinku, aku merasakan
perbedaan yang besar antara kami. Ini disebabkan karena pertanyaan tanpa ujung
yang tak bisa lepas dari pikiranku, dan yang sesungguhnya merusak kedamaian
pikiranku. Aku takut menatap-Nya. Baba juga diam selama perjalanan. Setelah
beberapa saat, mobil meluncur ke jalan terbuka. Pengemudi mengerem dan
menghentikan mobil. Penjaga Baba kemudian membukakan pintu. Baba keluar dan aku
mendampingi-Nya.
Kami berjalan melintasi jalan tersebut, diikuti oleh dua orang relawan.
Penjaga Baba berjalan di samping-Nya, memegangi payung di atas-Nya. Aku
berjalan agak di belakang Baba. Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Baba
memutarkan kepala-Nya dan menatapku dengan senyum misterius pada bibir-Nya.
Tampaknya, Baba sedang begitu gembira bersamaku. Senyum itu membuatku merasakan
hal tersebut, seperti sinar X, Ia melihat segala hal dalam pikiranku. Beliau
terlihat sangat lembut, kelembutan yang tak terungkapkan. Seketika dengan penuh
harap aku merasa bahwa Beliau akan menjawab semua pertanyaanku yang menggelora.
Ada suatu aturan selama berjalan santai dengan Baba, seseorang tak boleh
menanyakan pertanyaan kepada Baba, hanya boleh menjawab pertanyaan-Nya. Pada
waktu itu, aku benar-benar tak mampu mengendalikan diriku dan mengabaikan
aturan tersebut. Aku mengucapkan, “Baba, mereka yang meninggalkan-Mu, akankan
mereka kembali?”
Baba tidak menjawab pertanyaanku. Sebaliknya, Beliau menjawabnya dengan
bertanya, “Dapatkah kau menjelaskan padaku apa itu sadhana?”
Aku jawab, “Sadhana adalah suatu
proses ilmiah dimana pikiran unit dapat menyatu dengan Pikiran Kosmik dan pada
akhirnya dengan Kesadaran Agung.”
Baba menganggukkan kepala-Nya dan berkata, “Tidak seperti 2 + 2 = 4.” Aku
berpikir dalam hati, “Aku adalah seorang acarya
dan avadhuta. Aku telah menginisiasi
banyak orang. Aku selalu mengatakan pada mereka bahwa sadhana adalah pengetahuan spiritual, sama seperti 2 + 2 = 4. Tapi
sekarang, Baba mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda.”
Lanjut Baba, “Misalkan kau memanjat sebuah bukit dan jatuh setelah jarak
yang lumayan dekat. Tak ada sesuatu yang serius yang terjadi. Mungkin kau akan
merasa sakit atau tergores pada bagian tubuhmu. Tapi jika kau memanjat lebih
tinggi dan kemudian jatuh, maka pasti akan terluka parah. Bahkan tulang kaki
atau tanganmu akan patah. Sekarang, jika kau berada di puncak bukit, sangat
tinggi, dan terjatuh, kau pasti akan terluka sangat parah. Bahkan bisa mati.”
Baba melanjutkan, “Jika kau berjalan, dan jatuh, kau bisa bangun lagi,
menyela debu dan kotoran dari pakaianmu, dan jalan kembali. Tapi jika kau
mengendarai sepeda dan terjatuh, mungkin akan terluka lebih parah. Jika kau
jatuh dari sepeda motor, kau akan mendapatkan luka yang lebih parah, bahkan
terluka parah. Jika kau jatuh dari kereta api yang sedang bergerak, lukanya
akan semakin lebih parah. Jika kau jatuh dari pesawat terbang, kau pasti akan
mati. Tapi jika kau jatuh dari roket, sudah bisa dipastikan bahwa tubuhmu
bahkan tak akan berada di muka bumi ini.”
Ketika aku mendengarnya, terlintas dalam pikiranku bahwa Srimati Uma dan
sekelompok dada yang kurang baik tersebut mungkin tidak akan kembali sebagai
manusia, karena semakin tinggi seseorang bergerak dalam spiritualitas, maka
akan semakin keras jatuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu yang sangat
lama bagi mereka untuk memperoleh status manusia, supaya dapat melanjutkan
perjalanan spiritual mereka. Kejatuhan mereka seperti jatuh dari roket.
Selanjutnya Baba menjelaskan bahwa ketika seseorang jatuh dari jalan
spiritualitas, maka mereka mungkin tidak mengetahui penyebab sesungguhnya.
Mereka mungkin bekata bahwa hal ini terjadi kebetulan atau tanpa disengaja.
Akan tetapi segala yang terjadi di alam semesta ini insidental bukan aksidental
atau tak disengaja. Hanya karena ketidakpedulian kita, kekurangpengetahuan kita
dan pemahaman kita sehingga kita tidak tahu penyebab suatu kejadian, dan, oleh
karena itu mengkaitkannya sebagai aksiden atau tanpa sengaja.
Aku berpikir dalam hati, mengapa Baba mengatakan semua hal tersebut padaku
? Aku hanya bertanya pada-Nya suatu pertanyaan sederhana: akankah mereka
kembali ? Tapi jawaban Baba berada diluar itu semua. Apa hubungan antara
orang-orang tersebut yang meninggalkan organisasi, dengan sadhana, memanjat bukit, dan jatuh dari kereta serta pesawat
terbang? Aku berusaha untuk memahami hubungan diantara poin-poin dan
membenarkannya.
Ketika aku memikirkan hal tersebut, tiba-tiba Baba menatapku dan memberi
tanda untuk mendekat di samping-Nya. Aku bergerak dari belakang-Nya menuju ke
sisi kiri-Nya. Baba berada di tengah. Penjaga-Nya berjalan di sisi kanan-Nya.
Baba berkata, “Aku ingin menjelaskan apa itu sadhana.” Beliau menjelaskan bahwa ada dua jenis sadhana: satu sistem vaedik dan yang lainnya adalah sistem tantrik. Sadhana sistem vaedik
bukan berarti latihan spiritual yang didasarkan pada Veda. Tetapi menujuk pada sistem sadhana yang didasarkan pada doa-doa. Tidak ada proses meditasi
atau latihan spiritual praktis. Tidak ada kesadaran mengenai pentingnya Guru, tidak ada abhisheka, dan tak ada jaminan pembebasan. Sering kali, tujuan
latihan spiritual sistem vaedik
bersifat materialistik. Sadhana Tantrik,
sebaliknya, didasarkan pada sistem meditasi dan realisasi praktis spiritual. Guru adalah yang terpenting. Abhiseka merupakan bagian integral dari
sistem ini, dan ada juga jaminan penyatuan atau pembebasan.
Ketika Baba berbicara, aku jadi semakin bingung. Bagaimana mungkin mereka
mengalami kejatuhan dari jalan spiritual jika sistem tantrik menjamin pembebasan dan penyatuan? Aku juga tidak tahu apa
itu “abhisheka”. Aku tak pernah
mendengar hal ini sebelumnya.
Pada saat itu, Baba bertanya padaku, “Apakah kau mengerti?” Aku bingung
harus menjawab apa. Kemudian, Baba berkata, “Lihat, saat kau mendapat inisiasi,
pertama-tama kau mengucapkan sumpah. Abhisheka
berarti sumpah. Kau tahu, Lord Krsna meminta sumpah dari Yudhisthira. Pada
akhir perang Mahabharata, Krsna
meminta Yudhisthira untuk bersumpah, “Mulai saat ini, aku bersumpah bahwa
sebagai seorang raja, aku akan melihat seluruh subyek sebagai anak laki-laki
dan anak perempuanku. Aku akan memikul tanggung jawab penuh atas perkembangan
mereka”. Yudhisthira mengambil sumpah dihadapan Lord Krsna, duduk pada bintang
segi enam disebut Bhaeravi cakra,
yang sekarang menjadi bagian dari pratik
kita. Simbol mistik ini terukir pada batu. Batu yang dikubur dimana mereka
duduk didekatnya adalah apa yang sekarang menjadi Red Fort di New Delhi. Bila para arkeolog menggali wilayah
tersebut, mereka akan menemukan batu itu. Ini adalah abhisheka. Tanpa bersumpah, sadhana
tidaklah mungkin. Saat kau bersumpah, Guru segera memegang tanganmu.” Baba
kemudian menunjukkan hal ini padaku dengan memegang pergelangan tangan kiri-Nya
dengan tangan kanan-Nya.
Beliau melanjutkan, “Bagian kedua dari sumpah tantrik adalah Guru daksina
– persembahan mental kepada Guru yang dilakukan pada akhir inisiasi. Dan saat
memberikan Guru Daksina, kau
menangkap tangan Gurumu.”
Kemudian, masih
memegang pergelangan tangan kiri-Nya, Baba menangkap pergelangan tangan
kanan-Nya dengan tangan kiri-Nya. “Hal ini membentuk rantai,” lanjut-Nya.
Dengan cara ini, Baba menunjukkan padaku bahwa ketika tanganmu memegang Guru, Beliau dalam waktu yang sama
memegang tanganmu, mengunci dengan kedua tangan dalam ikatan kasih. Ini
merupakan titik awal sadhana.
Baba mengupas hal ini lebih jauh. Ia berkata, “Untuk melakukan segalanya
dengan berhasil, kau memerlukan tiga hal: percaya diri, memanfaatkan obyek
materi; dan berkah-Nya. Bila kau melakukan pekerjaan fisik seperti memotong
kayu, kau mungkin memiliki keyakinan pada-Nya mungkin pula tidak. Hal itu tidak
mempengaruhi hasil dari pekerjaan fisikmu. Akan tetapi dua poin pertama harus
jelas dalam pikiranmu agar sukses dalam tugas tersebut. Misalnya, kau ingin
mengendarai mobil. Bila tidak mempunyai rasa percaya diri maka kau tidak akan
dapat mengendarainya. Kau mungkin yakin pada-Nya mungkin pula tidak. Kau
mungkin punya perasaan khusus terhadap Guru
atau mungkin pula tidak. Hal itu tidak masalah. Tapi dalam jalan spiritual,
rasa percaya diri dan obyek materi tidaklah penting. Guru Krpa, berkah Guru
adalah satu-satunya yang dibutuhkan aspiran spiritual. Jalan mereka, mulai dari
inisiasi menuju nirvikalpa samadhi
disebut sadhana. Untuk tugas biasa,
seseorang harus percaya diri dan membutuhkan bantuan obyek materi. Tapi dalam
spiritualitas hanya satu kualitas yang dibutuhkan – kepasrahan penuh pada Guru. Seseorang mungkin mengetahui
dengan sangat detil mengenai teknik sulit sadhana.
Seseorang mungkin memiliki pengetahuan yang dalam mengenai pengetahuan
meditasi. Namun hal ini tidak berarti bahwa seseorang mendapat kemajuan dalam
jalan spiritual mereka. Bagaimanapun juga, dalam jalan spiritual, jika
seseorang pasrah pada Guru, maka ia
akan mendapatkan segalanya.”
Baba melanjutkan,
“Inilah sebabnya mengapa jalan spiritual sekali waktu sangat mudah dan juga
sangat sulit. Ini merupakan jalan sinthesis, bukan analisis. Bila kau
benar-benar pasrah pada-Nya, Ia akan memikul tanggung jawab penuh atas dirimu-
beradalah dalam tingkatan duniawi, fisik, mental maupun spiritual.”
Baba lebih lanjut menekankan hal ini, “Sejak permulaan sadhana hingga menuju tujuan akhir, kau harus melewati berbagai
tes, berbagai ujian. Dalam jalan spiritual, ada tujuh jenis tes untuk para
bhakta yang akan muncul di setiap titik kehidupan mereka. Kadang kala, aspiran
spiritual menyadari tes ini. Di waktu lain, mereka benar-benar tak
menyadarinya. Tes-tes tersebut berbeda antara satu orang dengan yang lainnya
sesuai samskara mereka, tingkat
pikiran mereka, dan tingkat kepasrahan mereka. Tes-tes tersebut mungkin tes
duniawi, fisik, psikik atau spiritual. Oleh karena itu, setelah inisiasi
seseorang mungkin jatuh sakit, menghadapi kesulitan keuangan, timbul benturan
hebat dengan anggota keluarga, atau mengalami jenis penderitaan mental
lainnya.”
Baba berkata,
“Andaikata kau akan pergi ke Delhi dari Calcutta. Ia mungkin akan menempatkanmu
dalam kereta api biasa atau menempatkanmu dalam kompartemen AC. Bila ber-AC,
kau mungkin tidak menyadari beberapa stasiun yang kau lewati. Kau mungkin tidak
tahu panorama yang indah dari fenomena di luar, yang mungkin menggoda aspiran
spiritual. Akan tetapi, jika kereta api biasa, kau akan tiba melewati dan
melihat Patna, Varanasi, Allahabad dan seterusnya. Misalnya kereta tiba di Allahabad.
Kau mungkin memutuskan untuk turun dari kereta dan membeli manisan dengan
kualitas terbaik serta jambu masak. Namun bahayanya adalah kereta akan pergi
tanpamu. Jadi, tes mungkin akan datang dengan cara yang sangat sederhana atau
dengan cara yang sangat sulit. Hal ini tergantung pada Guru, jenis kereta apa
yang Beliau berikan padamu, sesuai samskaramu.
Kebanyakan para sadhaka akan
menghadapi berbagai permasalahan, seperti masalah keuangan dan kesehatan,
kehilangan harga diri, dan bertentangan dengan teman-teman atau kerabat.”
Baba melanjutkan, “Normalnya, ada tujuh tahap atau jenis tes.” Beliau
mempergunakan sebuah kata khusus “nivedita
prana”, yang berarti hidup hanya untuk-Nya. Beliau berkata, “nivedita prana berarti tidak hanya memasrahkan secara internal,
mereka juga harus memasrahkan secara eksternal. Mereka memiliki kepasrahan
kepada hal tersebut bahkan nafas dan kekuatan hidup mereka yang dikendalikan
oleh Tuhan Yang Agung. Bagi mereka yang telah memasrahkan kehidupan dan jiwa,
Guru akan memutuskan segala kehidupan mereka.
Kemudian, lanjut Baba, “Tapi, kau tahu, tes akhir akan Aku berikan secara
pribadi.” Beliau menjelaskan, “Tahukah kau apa tes akhir itu? Aku akan
menciptakan keraguan dan kebimbangan dalam pikiran para bhakta sehubungan dengan
Guru. Aku akan menciptakan keadaan,
lingkungan semacam itu, dimana para bhakta kehilangan keyakinan mereka pada Guru.”
Ketika aku
mendengar pernyataan yang mengagumkan ini aku berpikir dalam hati, kemampuan
apa yang dimiliki oleh bhakta untuk mengatasi tes sulit tersebut. Ia mungkin
tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau menyadari hal itu.
Aku jadi agak kecewa. Aku bertanya, “Baba, jika Kau memberikan tes jenis
ini, bagaimana mungkin seorang bhakta bisa lulus? Aku pikir sebagai Sadguru, Kau akan menjamin kesuksesan
mereka yang mengikuti-Mu. Pikiran unit sangatlah terbatas. Tes-Mu juga sulit
hingga para bhakta akan dengan mudah kehilangan keyakinan. Mereka mungkin
tersesat. Mereka mungkin akan terjatuh. Hal ini artinya bahwa tidak ada jaminan
penyatuan.”
Baba langsung menjawab, “Jangan kuatir. Ketika Aku memberikan tes ini, Aku
juga menciptakan suatu keadaan yang membuat para bhakta lulus. Aku akan
memberikan petunjuk seadanya untuk melindungi para bhakta. Keduanya aku berikan
secara bersamaan. Guru Cakra[1],
hanyalah untuk Guru. Bila seseorang
meletakkan Guru pada Guru Cakra, Guru
pasti akan melindungi orang itu”. Baba berkata, “Orang-orang yang pergi,
mereka meletakkan orang lain pada Guru Cakra menggantikan Guru. Itulah
sebabnya mengapa segala jenis Guru Ninda
atau kritikan atau pengkhianatan pada perintah-Nya sangatlah berbahaya bagi
seorang Sadhaka.” Baba menekankan hal
ini padaku, “Jika seseorang meletakkan-Ku pada Guru Cakranya, ia akan terlindungi oleh-Ku.”
Beliau kemudian bertanya padaku, “Apakah kau ingat sebelum peristiwa ini
Aku memberikan DMC diberbagai tempat? Meskipun Aku membicarakan topik yang
berbeda, pada dasarnya aku mengulangi dan menjelaskan satu sloka di semua
tempat :
Shriina’the
ja’nakiina’the ca bheda Parama’tmanih
Tatha’pi
mamah sarvashva srii R’ma kamalalocana.”
Baba menjelaskan, “Narada dan Hanuman keduanya adalah bhakta Tuhan. Suatu
hari Narada bertanya pada Hanuman, “Oh, Hanuman, mengapa kau tidak memakai nama
Narayana?” Hanuman menjawab, “Aku tahu tidak ada perbedaan antara Rama dan
Narayana. Keduanya adalah nama Parama
Purusa. Tapi Ista mantraku adalah
Rama. Jadi aku hanya akan memakai nama Rama.” Baba berkata, “Aku mengatakan di
setiap acara DMC bahwa Istamu adalah
satu, Adharsa[2]-mu
adalah satu dan sama. Kau harus bergerak sendiri menuju Entitas Yang satu
itui.”
Baba melanjutkan, “Kau lihat, begitu banyak bhakta yang ada di sana namun
hanya sedikit yang terpengaruh. Guru mengatakan
kepadamu bahwa Ista dan Adharsamu adalah satu. Kadang-kadang,
keraguan dan kebingungan muncul di dalam pikiran bhakta. Seorang bhakta mungkin
berpikir, “Guru mengatakan kepada kita untuk membuka sekolah baru, tapi Aku
memberi banyak hambatan hingga sekolah tutup. Mengapa? Ia mengatakan kepada
kita untuk menjalankan pemilihan, tapi kita kalah. Mengapa organisasi banyak
berjuang untuk jumlah uang yang sedikit?” Jika seseorang mencoba untuk
menganalisa hal tersebut secara intelektual, mereka akan menjadi sangat
frustasi. Saran Guru, meskipun selalu sama, “Menyatulah bersama Istamu. Menyatulah bersama Ideologimu.”
“Jika keraguan dan frustasi semacam itu muncul dalam pikiranmu, jika secara
mental kau lelah, maka kau mungkin akan kehilangan pegangan pada tangan Guru. Namun, Guru tak akan membiarkanmu pergi. Ia akan terus membawamu menuju
tujuanmu. Namun, jika bhakta berkata, “Aku tidak mempercayai-Mu lagi. Kau bukan
Guruku”, hanya ketika itu Guru akan melepaskan tangan bhaktanya,
dan ia pasti akan jatuh. Jadi, apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Gurumu. Jangan pernah mencoba
mempergunakan pikiranmu yang terbatas untuk menganalisa kualitas Guru yang tak
terbatas. Beliau mengetahui apa yang terbaik untukmu, dan Beliau selalu
melakukan apa yang terbaik untukmu. Ia tidak akan pernah mengabaikanmu jika kau
mempercayai-Nya.”
Baba menjelaskan bahwa tes-tes yang Beliau berikan kepada Margii juga tidak
terlalu sulit. Beliau mengatakan bahwa jika kita mempelajari sejarah tantra dan menyadari tes-tes yang
diberikan guru tantrik kepada
bhaktanya di masa lalu, kita sebaiknya memahami pernyataan ini.
Kemudian, Baba bertanya padaku, “Tahukah kau bagaimana Krsna menguji para
Pandava? Kau tak bisa membayangkan. Ia membunuh Barbarik, cucu Bhima (kedua
dari Pandava), sesaat sebelum Perang. Barbarik membanggakan diri dihadapan
Krsna, “Aku dapat menuntaskan seluruh peperangan dalam sekejap mata.” Ia bahkan
membuktikan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melakukan hal ini. Namun, Krsna
membunuhnya karena keangkuhannya yang luar biasa. Ini merupakan tes terburuk
yang dialami oleh Bhima."
Baba mengatakan bahwa Barbarik dan lainnya yang dibunuh Krsna sebelum atau
selama perang Mahabharata adalah para avidya
tantrik kuat yang mempergunakan kekuatan spiritual mereka demi keuntungan
pribadi mereka. Mereka menanamkan kompleksitas rasa takut di masyarakat dan
menekan orang-orang tak bersalah. Krsna, sebagai perwujudan Parama Purusa berkewajiban untuk menghancurkan mereka demi
kesejahteraan umat manusia dan penegakkan dharma.
Aku berpikir dalam hati betapa hebatnya pengorbanan Bhima, bahwa ia
melewati tes sulit tersebut. Krsna adalah Dharma
Guru – Guru dari Dharma, atau
kebenaran. Beliau adalah contoh yang ideal bagi kemanusiaan. Baba selanjutnya
berkata, “Kemudian Krsna membuat Bhisma terbunuh (kakek Pandava dan Kurava)
dengan cara yang bertentangan dengan aturan perang pada saat itu. Ia membunuh
Drona (pengajar seni bela diri) dengan cara menipu.”
Baba menjelaskan bagaimana Lord Krsna menguji Arjuna. Ketika kereta perang
Karna terperosok di lumpur medan peperangan dan ia turun dari kereta untuk
mengangkatnya keluar dari lumpur, Krsna memerintahkan Arjuna untuk membunuh
Karna dengan panahnya di saat itu pula. Arjuna menjadi begitu kecewa dengan
perintah yang tak adil tersebut, berteriak pada Krsna, “Kau bukan teman dan
Guruku yang sesungguhnya. Sebagai temanku, Kau seharusnya tak mengatakan padaku
untuk melakukan hal yang tidak benar. Tapi, kau memintaku untuk membunuh
kakekku, Bhisma dengan cara yang tidak benar, dan guruku, Dronacarya, juga
dengan cara yang bertentangan dengan aturan perang. Aku adalah seorang Ksattrya, seorang pejuang, dan Kau
menghasutku untuk membunuh Karna dengan cara demikian yang bertentangan dengan
aturan perang. Ini bertentangan dengan dharma
seorang ksattriya.”
Krsna dengan tenang menjawab ucapan emosi ini, “Apakah aku sedang
mendengarkan filsafat darimu di medan perang ini? Di sini kau hanya harus
berperang. Ketika kau muda dan disediakan rumah untukmu serta saudara-saudaramu
terperangkap api, siapa yang menyelamatkanmu? Ketika Bhima diracun dan dilempar
ke sungai, siapa yang menyelamatkannya? Siapa yang mengatur pernikahanmu dengan
Draopadi? Siapa yang menyelamatkan istrimu, Draopadi, ketika ia dihina dan
dianiaya, dan Dushasan (salah seorang Kaoravas) ingin menelanjanginya dihadapan
seluruh orang-orang yang disebut religius, dharmik,
moralist dan senior – siapa yang menyelamatkannya? Apakah semua itu dalam batas
kemampuanmu sebagai seorang ksattrya?
Ingatkah kau beberapa hari yang lalu ketika tujuh jenderal Kaoravas membunuh
putramu, Abhimanyu? Apakah itu sesuai dengan aturan perang?”
Seketika, Arjuna menyadari kesalahannya, penilaian yang keliru. Argumen
Krsna yang penuh kekuatan meyakinkan Arjuna atas kebesaran-Nya. Setelah itu ia
memperoleh keyakinan penuh pada Krsna dan lulus tes.
Baba menekankan, “Krsna memberi para Pandava begitu banyak penganiayaan,
kegalauan, penghinaan dan penderitaan yang tak dapat kau bayangkan!”
Kemudian, Baba menceritakan kisah lainnya untuk menggambarkan tes dari guru
tantrik dan menyebutkan nama tiga
orang pengikut tantrik – Upamanyu,
Utanka dan Aruni.
Upamanyu diperintahkan
oleh gurunya untuk memelihara sapinya. Suatu hari, guru meminta agar ia
berhenti minum susu dari sapi tersebut, karena ia tidak memberikannya ijin
untuk melakukan hal itu. Mengikuti perintahnya, Upamanyu minum hanya dari buih
susu di atas belanga. Gurunya kemudian memerintahkan dirinya bahkan untuk
berhenti meminum buih susu. Ia mematuhi perintah ini. Untuk bertahan hidup, ia
harus mengemis makanan. Setelah beberapa waktu, gurunya memerintahkannya untuk
tidak mengemis makanan dari orang lain. Karena ia memiliki keyakinan penuh pada
gurunya, Upamanyu mematuhi perintah ini juga. Setelah beberapa waktu, saat ia
tak tahan lagi menahan lapar, ia memakan daun-daunan, yang membuatnya buta.
Ketika ia berjalan dalam keadaan buta, tanpa disengaja ia tersandung dan jatuh
ke dalam sumur kosong.
Sementara itu, ketika sapi kembali tanpa Upamanyu, gurunya pergi mencari,
dan pada akhirnya menemukannya dalam kondisi menggenaskan di dasar sumur.
Gurunya merasa kasihan padanya, dan dari atas sumur, mengajarkan Upamanyu
mantra khusus, yang seketika itu juga menyembuhkan kebutaannya. Upamanyu
memanjat keluar sumur dan lantas diberikan inisiasi dan kesadaran spiritual
oleh gurunya. Ia telah lulus dari segala macam tes gurunya.
Utanka dikirim untuk tinggal bersama gurunya di usia lima tahun. Ia harus
melayani gurunya hingga ia benar-benar puas. Dengan cara ini, ia melewati
tahun-tahunnya melayani gurunya. Suatu hari, Utanka tiba-tiba tersandung ketika
memikul seiikat kayu. Ia jatuh di dekat aliran sungai. Ketika bangkit, ia
melihat cermin dirinya di dalam air dan terkejut melihat rambutnya berubah
menjadi abu-abu karena usia tua. Kemudian ia merasa bahwa dirinya telah
menghabiskan seluruh hidupnya melakukan pelayanan tanpa mendapatkan kesadaran
spiritual, dan menjadi begitu sedih. Sesaat setelah kembali ke ashram, gurunya menginisiasinya dan juga
memberikannya pengalaman ilahi samadhi.
Sementara itu, Guru Aruni memerintahkannya untuk merawat ladangnya. Ketika
tanggul pembatas ladang bocor, Aruni menahan lubang bocor tersebut dengan
tubuhnya. Tetap berada pada posisi tersebut untuk mencegah air masuk, hingga
pada akhirnya ia jatuh pingsan. Ia terbaring dalam lumpur dan air sepanjang
malam. Keesokan pagi, sang guru pergi mencarinya. Setelah beberapa waktu, ia
menemukannya dalam kondisi yang memprihatinkan dan merawatnya hingga sembuh.
Ketika sembuh, ia menyatakan bahwa Aruni telah lulus tesnya dan sekarang telah
siap untuk inisiasi ke dalam latihan spiritual.
Baba menjelaskan bahwa kekuatan tersembunyi tantrik Ananda Marga juga termasuk tes, yang diberikan dengan cara
yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa unsur yang terpenting dari kekuatan tantrik adalah tes yang diberikan oleh Guru kepada pengikutnya,
dan kepuasan penuh dari Guru. Ia menjelaskan bahwa ia juga mempertahankan unsur
ini namun mengubahnya ke dalam sistem latihan spiritual Ananda Marga
disesuaikan kondisi saat ini. Di Ananda
Marga, mudah sekali mendapatkan inisiasi. Tes dalam hidup hanya datang kemudian
ketika berbagai benturan dan permasalahan menghadang aspiran spiritual guna
menghambat latihan spiritualnya. Jika keseimbangan latihan spiritualnya terjaga
setelah melewati permasalahan-permasalahan kehidupan yang menggulir, aspiran
spiritual pada akhirnya diberikan berkah kesadaran spiritual.
Baba menjelaskan lebih lanjut, “Ketika Aku memegang tanganmu, adalah
menjadi tugas-Ku untuk membawamu ke tujuan akhirmu. Jika kau tidak mengikuti
arahan-Ku, artinya kau telah melepaskan tanganmu dari-Ku. Namun, aku tak dapat
melepaskan tangan-Ku darimu. Aku telah menerimamu dan akan membawamu menuju
tujuan akhir, baik kau mengikuti perintahku ataupun tidak. Baik kau melakukan sadhana ataupun tidak, tidak jadi soal.
Tapi, saat kau mengatakan, “Aku tidak mempercayai-Mu. Aku tidak menerima-Mu
sebagai guru-Ku, maka Aku terpaksa harus meninggalkanmu."
Kemudian Baba mengajukan dua pertanyaan kepadaku dan dijawabnya sendiri:
“Apakah arti sadhana yang
sesungguhnya? Memuaskan Guru adalah sadhanamu. Apa itu Guru Puja? Melaksanakan perintah Guru adalah Guru Puja.”
Penjelasan Baba
yang panjang dan rinci sangatlah berarti bagiku. Segala pertanyaan yang
sebelumnya membingungkan dan menggangguku sekarang telah lenyap layaknya asap.
Kata-kata Baba sekarang telah jelas bagiku. Intuisiku paham mengapa Beliau
memberikanku contoh bukit dan jatuh dari ketinggian yang berbeda dan dari benda
yang berbeda seperti, sepeda, motor, kereta api, pesawat terbang, dan roket.
Aku juga semakin paham mengapa orang-orang tersebut meninggalkan Baba dan akan
seperti apa nasib mereka. Sekarang aku mengerti apa arti sadhana yang sesungguhnya. Kita mungkin lupa tugas yang diberikan
kepada kita, namun Parama Purusa
tidak pernah melupakan tugas dan tanggung jawab-Nya kepada kita.
Berjalan disamping Baba didinginnya udara pagi Patna, aku meratap bahagia.
Aku menyadari kasih-Nya yang besar kepadaku, bagaimana Beliau melenyapkan
jaring gelap kegalauan pikiranku dan bagaimana Beliau dengan lembut
memberikanku pandangan baru mengenai sadhana,
menekankan kepasrahan dan kebergantungan penuh pada Sang Guru.
Acarya
Tapeshvarananda Avadhuta
[1] Guru Cakra terletak tepat
dibawah kelenjar pineal. Cakra itulah
tempat seseorang mengideasikan Guru.
[2] Adharsa berarti ideologi.
Tahap dimana pikiran untuk sementara waktu selaras dengan kebahagiaan Kesadaran
Murni disebut “bhava” atau idea.
Banyak orang akan mendapatkan pengalaman singkat bhava ini dalam kehidupan
mereka, namun pengalaman ini tidak terwujud dalam kehidupan bathin atau sikap
mereka. Dengan kata lain, bhava ini
tidak terwujud dalam ideologi mereka. Namun bagi mereka pada bhakta, yang
berada dibawah bimbingan Taraka Brahma,
keadaannya berbeda. Mereka mendapatkan bhava
dengan Ista Darshan, atau berhubungan
dengan Mahasambhuti atau Yang
Terkasih. Mereka bisa memperolehnya dengan kontak langsung atau dalam peristiwa
kehidupan mereka sehari-hari. Tidak hanya ini, Tuhan membuat para bhakta secara
fisik menerima arti bhava atai idea
ini, dn menunjukkan kesublimitasnya dalam sikap mereka sehari-hari. Pemahaman
mental ini atau perwujudan eksternal arti Ista
Darshan, bhava disebut adharsa
atau Ideology.
Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (di Ananda Marga Yoga Bali)
Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (di Ananda Marga Yoga Bali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar