Senin, 03 Februari 2014



Tujuh Tes Guru
Selama bulan Oktober 1971, Ananda Marga mengalami masa krisis – baik spiritual maupun organisasi. Sebuah DMC diselenggarakan di Calcutta. Kami sedang menunggu mulainya Dharsan Umum (General Dharsan) malam. Prosedurnya adalah bahwa pertama-tama Srimati Uma, istri Baba, akan keluar dan memberikan ceramah spiritual. Setelah itu Baba akan memberikan ceramah-Nya. Kami biasanya memanggil istri Baba “Ma” dan memberi hormat.
Pada malam DMC, tiba-tiba Asisten Pribadi Baba muncul dengan dua atau tiga orang pekerja pusat dan berbicara tentang sistem pelaporan. Ia mulai berbicara tentang bagaimana Baba memberikan hukuman yang sangat berat kepada para pekerja. Ia mengkritik dengan keras hal ini, dan juga aspek lain dari sistem organisasi Baba. Kemudian, ia membisikkan pada kami semua dengan mengumumkan bahwa Srimati Uma tidak sepaham dengan Baba sehubungan dengan beberapa permasalahan organisasi, dan bahwa dia dan anak laki-lakinya, Gautam, akan meninggalkan-Nya. Setelah pengumuman yang mengejutkan tersebut, Srimati Uma pergi dengan beberapa kelompok dada lain. Drama yang sukar dipercaya benar-benar terjadi dihadapan kami sepanjang malam DMC tersebut. Kami terkejut dan tak mampu berkata-kata, berada dalam kegalauan dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Seperti biasa, setelah berapa lama, Baba datang untuk General Dharsan. Kami semua sangat penasaran ingin mengetahui secara langsung dari Baba apa yang tengah terjadi. Namun, Baba sepenuhnya dalam keadaan tenang, seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun (kekurangan yang terjadi pada malam DMC itu sendiri). Beliau memberikan ceramah spiritual dan kemudian meninggalkan kediaman-Nya.

Hari berikutnya, acara DMC berlalu dengan tenang tanpa insiden apapun. Setelah DMC, Baba tetap tinggal di Calcutta untuk beberapa hari. Dia kemudian pergi ke Patna, Bihar.

Saat itu aku pekerja lapangan di Wilayah Timur, yang merupakan bagian Timur dari India. Di Bengal Barat dan khususnya dekat Calcutta, terdapat banyak unit-unit Ananda Marga. Semua Margii di unit-unit tersebut sangat kecewa karena insiden ini, dan khususnya karena istri dan anak laki-laki yang dipuja-puja oleh Baba telah meninggalkan-Nya. Mereka tidak dapat memulihkan rasa sakit dari fakta yang sulit diterima ini. Sangat sulit sekali bagiku untuk menghadapi para Margii dan memberikan jawaban yang sesuai atas sejumlah pertanyaan yang mengganggu mereka. Tak seorangpun dapat dan ingin mempercayainya bahwa istri dari Guru kami, Lord Anandamurtiji, dapat meninggalkan-Nya dan keluar dari organisasi. Secara pribadi, aku juga penasaran bagaimana mungkin ia meninggalkan Baba. Tetapi, insiden tersebut terjadi tepat dihadapanku. Aku juga telah melihat Baba melanjutkan tugas-Nya dengan sikap yang tenang dan santai, seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Meskipun aku terluka dan bingung, namun, merasa terobati oleh kenyataan bahwa insiden yang tak menyenangkan tersebut tidak mempengaruhi kesabaran Baba. Dimanapun aku bertemu para Margii, mereka akan bertanya padaku dengan pertanyaan yang sangat menusuk tentang insiden yang menggangguku, karena tidak dapat memberikan jawaban yang memadai dan meyakinkan. Bahkan, aku menjadi semakin terganggu.

Aku tak tahan lagi. Pertentangan ini tak tertahankan lagi. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Baba? Apa ia bukan seorang Yang Telah Menyadari Tuhan? Bila ia, sebagai istri-Nya, tidak dapat menyadari atau memahami sifat alami yang sesungguh-Nya, lalu bagaimana mungkin kami akan menyadari-Nya? Mengapa Baba tak mampu melihat insiden ini, dan mencegah-Nya? Bila Baba benar-benar Parama Purusa dan mengetahui segalanya, bagaimana mungkin ia membiarkan hal ini terjadi ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terngiang-ngiang dalam kepalaku. Permasalahannya semakin buruk, para Margii terus bertanya, “Bila Baba bahkan tak mampu mengendalikan istri-Nya sendiri, maka bagaimana mungkin Ia mampu mengendalikan para pengikut-Nya? Bagaimana mungkin Ia mampu mengendalikan Alam Semesta? Bagaimana mungkin ia mampu menciptakan dan membangun misi spiritual? Apakah Srimati Uma dan yang lainnya yang pergi dengannya tidak melakukan meditasi mereka secara teratur? Dan jika, mereka melakukan meditasi, bagaimana mungkin mereka mengalami kejatuhan spiritual, bagaimana mungkin mereka jatuh dari jalan spiritual, jatuh bukan kepalang? Jika melakukan sadhana tidak ada jaminan aman dalam jalan spiritual, maka untuk apa aku harus bermeditasi?”

Aku semakin bingung, karena tak mampu menjawab semua pertanyaan sulit yang sangat kasar dan memalukan tersebut. Bukan hanya para Margii saja yang mencari jawaban atas pertanyaan tersebut; Aku juga membutuhkan jawaban yang tepat guna mengatasi kebingunganku.

Dalam keadaan mental yang galau ini, suatu kekuatan misterius tampaknya memaksaku pergi ke Patna menemui Baba secara langsung, meskipun pikiran obyektifku tak ingin bertemu dengan-Nya. Bahkan, aku agak marah pada Baba yang membiarkan kejadian buruk ini muncul.

Setelah tiba di Patna, aku memutuskan untuk memakan sedikit puris dan jalebi panas, yaitu manisan kumparan berwarna oranye untuk sarapan pagi. Aku pikir lebih baik aku beristirahat dahulu dan mandi. Setelah menyelesaikan kegiatan tersebut, kemudian aku bermeditasi. Ternyata, aku telah menunda meditasiku setelah melakukan seluruh kegiatan, jelas sekali menunjukkan betapa gelisahnya aku. Aku tak memberitahu orang-orang mengenai  kedatanganku, karena aku tak ingin bertemu siapapun pada saat itu.

Aku membawa makanan dan tiba di gedung dimana para dada tinggal di Patna. Atas alasan tertentu, saat tiba di sana, aku merasa kurang nyaman hingga harus mandi. Setelah mandi dalam keadaan dingin namun menyegarkan tersebut, aku mulai mencukur. Saat itu bulan November dan musim dingin baru saja mulai dengan angin yang sangat dingin. Aku berusaha memakai turban untuk menghindari udara dingin.

Ketika aku sedang memakai turban, Dada PA tiba-tiba masuk ke dalam ruanganku dan berkata, “Baba, memanggilmu sekarang.”. Ia langsung menarikku ke dalam jeepnya tanpa memberiku kesempatan untuk bersiap-siap.

Di perjalanan, ketika sedang duduk dalam jeep, aku berpikir dalam hati bagaimana mungkin Baba tahu aku datang di Patna yang baru tiba 40 menit? Siapa yang memberitahu kedatanganku? Dalam sekejap, kami tiba di kediaman Baba.

Saat tiba, aku mendengar bel Baba berbunyi. Dada PA segera berlari menuju ke dalam ruangan-Nya. Ketika ia membuka pintu, aku melihat Baba keluar dengan wajah yang amat tampan, tersenyum dan penuh daya tarik. Aku tak berdaya di hadapan-Nya. Baba berkata padaku dengan suara lembut, “Mari kita jalan-jalan.”

Kemudian Baba masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian. aku mengikuti-Nya. Aku tak berkata sepatah kata pun, hanya duduk diam di samping-Nya. Meskipun jarak fisik antara kami hanyalah beberapa inci, dalam batinku, aku merasakan perbedaan yang besar antara kami. Ini disebabkan karena pertanyaan tanpa ujung yang tak bisa lepas dari pikiranku, dan yang sesungguhnya merusak kedamaian pikiranku. Aku takut menatap-Nya. Baba juga diam selama perjalanan. Setelah beberapa saat, mobil meluncur ke jalan terbuka. Pengemudi mengerem dan menghentikan mobil. Penjaga Baba kemudian membukakan pintu. Baba keluar dan aku mendampingi-Nya.

Kami berjalan melintasi jalan tersebut, diikuti oleh dua orang relawan. Penjaga Baba berjalan di samping-Nya, memegangi payung di atas-Nya. Aku berjalan agak di belakang Baba. Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Baba memutarkan kepala-Nya dan menatapku dengan senyum misterius pada bibir-Nya. Tampaknya, Baba sedang begitu gembira bersamaku. Senyum itu membuatku merasakan hal tersebut, seperti sinar X, Ia melihat segala hal dalam pikiranku. Beliau terlihat sangat lembut, kelembutan yang tak terungkapkan. Seketika dengan penuh harap aku merasa bahwa Beliau akan menjawab semua pertanyaanku yang menggelora. Ada suatu aturan selama berjalan santai dengan Baba, seseorang tak boleh menanyakan pertanyaan kepada Baba, hanya boleh menjawab pertanyaan-Nya. Pada waktu itu, aku benar-benar tak mampu mengendalikan diriku dan mengabaikan aturan tersebut. Aku mengucapkan, “Baba, mereka yang meninggalkan-Mu, akankan mereka kembali?”

Baba tidak menjawab pertanyaanku. Sebaliknya, Beliau menjawabnya dengan bertanya, “Dapatkah kau menjelaskan padaku apa itu sadhana?” 

Aku jawab, “Sadhana adalah suatu proses ilmiah dimana pikiran unit dapat menyatu dengan Pikiran Kosmik dan pada akhirnya dengan Kesadaran Agung.”

Baba menganggukkan kepala-Nya dan berkata, “Tidak seperti 2 + 2 = 4.” Aku berpikir dalam hati, “Aku adalah seorang acarya dan avadhuta. Aku telah menginisiasi banyak orang. Aku selalu mengatakan pada mereka bahwa sadhana adalah pengetahuan spiritual, sama seperti 2 + 2 = 4. Tapi sekarang, Baba mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda.”

Lanjut Baba, “Misalkan kau memanjat sebuah bukit dan jatuh setelah jarak yang lumayan dekat. Tak ada sesuatu yang serius yang terjadi. Mungkin kau akan merasa sakit atau tergores pada bagian tubuhmu. Tapi jika kau memanjat lebih tinggi dan kemudian jatuh, maka pasti akan terluka parah. Bahkan tulang kaki atau tanganmu akan patah. Sekarang, jika kau berada di puncak bukit, sangat tinggi, dan terjatuh, kau pasti akan terluka sangat parah. Bahkan bisa mati.”

Baba melanjutkan, “Jika kau berjalan, dan jatuh, kau bisa bangun lagi, menyela debu dan kotoran dari pakaianmu, dan jalan kembali. Tapi jika kau mengendarai sepeda dan terjatuh, mungkin akan terluka lebih parah. Jika kau jatuh dari sepeda motor, kau akan mendapatkan luka yang lebih parah, bahkan terluka parah. Jika kau jatuh dari kereta api yang sedang bergerak, lukanya akan semakin lebih parah. Jika kau jatuh dari pesawat terbang, kau pasti akan mati. Tapi jika kau jatuh dari roket, sudah bisa dipastikan bahwa tubuhmu bahkan tak akan berada di muka bumi ini.”

Ketika aku mendengarnya, terlintas dalam pikiranku bahwa Srimati Uma dan sekelompok dada yang kurang baik tersebut mungkin tidak akan kembali sebagai manusia, karena semakin tinggi seseorang bergerak dalam spiritualitas, maka akan semakin keras jatuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu yang sangat lama bagi mereka untuk memperoleh status manusia, supaya dapat melanjutkan perjalanan spiritual mereka. Kejatuhan mereka seperti jatuh dari roket. Selanjutnya Baba menjelaskan bahwa ketika seseorang jatuh dari jalan spiritualitas, maka mereka mungkin tidak mengetahui penyebab sesungguhnya. Mereka mungkin bekata bahwa hal ini terjadi kebetulan atau tanpa disengaja. Akan tetapi segala yang terjadi di alam semesta ini insidental bukan aksidental atau tak disengaja. Hanya karena ketidakpedulian kita, kekurangpengetahuan kita dan pemahaman kita sehingga kita tidak tahu penyebab suatu kejadian, dan, oleh karena itu mengkaitkannya sebagai aksiden atau tanpa sengaja.

Aku berpikir dalam hati, mengapa Baba mengatakan semua hal tersebut padaku ? Aku hanya bertanya pada-Nya suatu pertanyaan sederhana: akankah mereka kembali ? Tapi jawaban Baba berada diluar itu semua. Apa hubungan antara orang-orang tersebut yang meninggalkan organisasi, dengan sadhana, memanjat bukit, dan jatuh dari kereta serta pesawat terbang? Aku berusaha untuk memahami hubungan diantara poin-poin dan membenarkannya.

Ketika aku memikirkan hal tersebut, tiba-tiba Baba menatapku dan memberi tanda untuk mendekat di samping-Nya. Aku bergerak dari belakang-Nya menuju ke sisi kiri-Nya. Baba berada di tengah. Penjaga-Nya berjalan di sisi kanan-Nya. Baba berkata, “Aku ingin menjelaskan apa itu sadhana.” Beliau menjelaskan bahwa ada dua jenis sadhana: satu sistem vaedik dan yang lainnya adalah sistem tantrik. Sadhana sistem vaedik bukan berarti latihan spiritual yang didasarkan pada Veda. Tetapi menujuk pada sistem sadhana yang didasarkan pada doa-doa. Tidak ada proses meditasi atau latihan spiritual praktis. Tidak ada kesadaran mengenai pentingnya Guru, tidak ada abhisheka, dan tak ada jaminan pembebasan. Sering kali, tujuan latihan spiritual sistem vaedik bersifat materialistik. Sadhana Tantrik, sebaliknya, didasarkan pada sistem meditasi dan realisasi praktis spiritual. Guru adalah yang terpenting. Abhiseka merupakan bagian integral dari sistem ini, dan ada juga jaminan penyatuan atau pembebasan.

Ketika Baba berbicara, aku jadi semakin bingung. Bagaimana mungkin mereka mengalami kejatuhan dari jalan spiritual jika sistem tantrik menjamin pembebasan dan penyatuan? Aku juga tidak tahu apa itu “abhisheka”. Aku tak pernah mendengar hal ini sebelumnya.

Pada saat itu, Baba bertanya padaku, “Apakah kau mengerti?” Aku bingung harus menjawab apa. Kemudian, Baba berkata, “Lihat, saat kau mendapat inisiasi, pertama-tama kau mengucapkan sumpah. Abhisheka berarti sumpah. Kau tahu, Lord Krsna meminta sumpah dari Yudhisthira. Pada akhir perang Mahabharata, Krsna meminta Yudhisthira untuk bersumpah, “Mulai saat ini, aku bersumpah bahwa sebagai seorang raja, aku akan melihat seluruh subyek sebagai anak laki-laki dan anak perempuanku. Aku akan memikul tanggung jawab penuh atas perkembangan mereka”. Yudhisthira mengambil sumpah dihadapan Lord Krsna, duduk pada bintang segi enam disebut Bhaeravi cakra, yang sekarang menjadi bagian dari pratik kita. Simbol mistik ini terukir pada batu. Batu yang dikubur dimana mereka duduk didekatnya adalah apa yang sekarang menjadi Red Fort di New Delhi. Bila para arkeolog menggali wilayah tersebut, mereka akan menemukan batu itu. Ini adalah abhisheka. Tanpa bersumpah, sadhana tidaklah mungkin. Saat kau bersumpah, Guru segera memegang tanganmu.” Baba kemudian menunjukkan hal ini padaku dengan memegang pergelangan tangan kiri-Nya dengan tangan kanan-Nya.

Beliau melanjutkan, “Bagian kedua dari sumpah tantrik adalah Guru daksina – persembahan mental kepada Guru yang dilakukan pada akhir inisiasi. Dan saat memberikan Guru Daksina, kau menangkap tangan Gurumu.”

Kemudian, masih memegang pergelangan tangan kiri-Nya, Baba menangkap pergelangan tangan kanan-Nya dengan tangan kiri-Nya. “Hal ini membentuk rantai,” lanjut-Nya.

Dengan cara ini, Baba menunjukkan padaku bahwa ketika tanganmu memegang Guru, Beliau dalam waktu yang sama memegang tanganmu, mengunci dengan kedua tangan dalam ikatan kasih. Ini merupakan titik awal sadhana.

Baba mengupas hal ini lebih jauh. Ia berkata, “Untuk melakukan segalanya dengan berhasil, kau memerlukan tiga hal: percaya diri, memanfaatkan obyek materi; dan berkah-Nya. Bila kau melakukan pekerjaan fisik seperti memotong kayu, kau mungkin memiliki keyakinan pada-Nya mungkin pula tidak. Hal itu tidak mempengaruhi hasil dari pekerjaan fisikmu. Akan tetapi dua poin pertama harus jelas dalam pikiranmu agar sukses dalam tugas tersebut. Misalnya, kau ingin mengendarai mobil. Bila tidak mempunyai rasa percaya diri maka kau tidak akan dapat mengendarainya. Kau mungkin yakin pada-Nya mungkin pula tidak. Kau mungkin punya perasaan khusus terhadap Guru atau mungkin pula tidak. Hal itu tidak masalah. Tapi dalam jalan spiritual, rasa percaya diri dan obyek materi tidaklah penting. Guru Krpa, berkah Guru adalah satu-satunya yang dibutuhkan aspiran spiritual. Jalan mereka, mulai dari inisiasi menuju nirvikalpa samadhi disebut sadhana. Untuk tugas biasa, seseorang harus percaya diri dan membutuhkan bantuan obyek materi. Tapi dalam spiritualitas hanya satu kualitas yang dibutuhkan – kepasrahan penuh pada Guru. Seseorang mungkin mengetahui dengan sangat detil mengenai teknik sulit sadhana. Seseorang mungkin memiliki pengetahuan yang dalam mengenai pengetahuan meditasi. Namun hal ini tidak berarti bahwa seseorang mendapat kemajuan dalam jalan spiritual mereka. Bagaimanapun juga, dalam jalan spiritual, jika seseorang pasrah pada Guru, maka ia akan mendapatkan segalanya.”

Baba melanjutkan, “Inilah sebabnya mengapa jalan spiritual sekali waktu sangat mudah dan juga sangat sulit. Ini merupakan jalan sinthesis, bukan analisis. Bila kau benar-benar pasrah pada-Nya, Ia akan memikul tanggung jawab penuh atas dirimu- beradalah dalam tingkatan duniawi, fisik, mental maupun spiritual.”

Baba lebih lanjut menekankan hal ini, “Sejak permulaan sadhana hingga menuju tujuan akhir, kau harus melewati berbagai tes, berbagai ujian. Dalam jalan spiritual, ada tujuh jenis tes untuk para bhakta yang akan muncul di setiap titik kehidupan mereka. Kadang kala, aspiran spiritual menyadari tes ini. Di waktu lain, mereka benar-benar tak menyadarinya. Tes-tes tersebut berbeda antara satu orang dengan yang lainnya sesuai samskara mereka, tingkat pikiran mereka, dan tingkat kepasrahan mereka. Tes-tes tersebut mungkin tes duniawi, fisik, psikik atau spiritual. Oleh karena itu, setelah inisiasi seseorang mungkin jatuh sakit, menghadapi kesulitan keuangan, timbul benturan hebat dengan anggota keluarga, atau mengalami jenis penderitaan mental lainnya.”

Baba berkata, “Andaikata kau akan pergi ke Delhi dari Calcutta. Ia mungkin akan menempatkanmu dalam kereta api biasa atau menempatkanmu dalam kompartemen AC. Bila ber-AC, kau mungkin tidak menyadari beberapa stasiun yang kau lewati. Kau mungkin tidak tahu panorama yang indah dari fenomena di luar, yang mungkin menggoda aspiran spiritual. Akan tetapi, jika kereta api biasa, kau akan tiba melewati dan melihat Patna, Varanasi, Allahabad dan seterusnya. Misalnya kereta tiba di Allahabad. Kau mungkin memutuskan untuk turun dari kereta dan membeli manisan dengan kualitas terbaik serta jambu masak. Namun bahayanya adalah kereta akan pergi tanpamu. Jadi, tes mungkin akan datang dengan cara yang sangat sederhana atau dengan cara yang sangat sulit. Hal ini tergantung pada Guru, jenis kereta apa yang Beliau berikan padamu, sesuai samskaramu. Kebanyakan para sadhaka akan menghadapi berbagai permasalahan, seperti masalah keuangan dan kesehatan, kehilangan harga diri, dan bertentangan dengan teman-teman atau kerabat.”

Baba melanjutkan, “Normalnya, ada tujuh tahap atau jenis tes.” Beliau mempergunakan sebuah kata khusus “nivedita prana”, yang berarti hidup hanya untuk-Nya. Beliau berkata, “nivedita prana berarti  tidak hanya memasrahkan secara internal, mereka juga harus memasrahkan secara eksternal. Mereka memiliki kepasrahan kepada hal tersebut bahkan nafas dan kekuatan hidup mereka yang dikendalikan oleh Tuhan Yang Agung. Bagi mereka yang telah memasrahkan kehidupan dan jiwa, Guru akan memutuskan segala kehidupan mereka.

Kemudian, lanjut Baba, “Tapi, kau tahu, tes akhir akan Aku berikan secara pribadi.” Beliau menjelaskan, “Tahukah kau apa tes akhir itu? Aku akan menciptakan keraguan dan kebimbangan dalam pikiran para bhakta sehubungan dengan Guru. Aku akan menciptakan keadaan, lingkungan semacam itu, dimana para bhakta kehilangan keyakinan mereka pada Guru.”

Ketika aku mendengar pernyataan yang mengagumkan ini aku berpikir dalam hati, kemampuan apa yang dimiliki oleh bhakta untuk mengatasi tes sulit tersebut. Ia mungkin tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau menyadari hal itu.

Aku jadi agak kecewa. Aku bertanya, “Baba, jika Kau memberikan tes jenis ini, bagaimana mungkin seorang bhakta bisa lulus? Aku pikir sebagai Sadguru, Kau akan menjamin kesuksesan mereka yang mengikuti-Mu. Pikiran unit sangatlah terbatas. Tes-Mu juga sulit hingga para bhakta akan dengan mudah kehilangan keyakinan. Mereka mungkin tersesat. Mereka mungkin akan terjatuh. Hal ini artinya bahwa tidak ada jaminan penyatuan.”

Baba langsung menjawab, “Jangan kuatir. Ketika Aku memberikan tes ini, Aku juga menciptakan suatu keadaan yang membuat para bhakta lulus. Aku akan memberikan petunjuk seadanya untuk melindungi para bhakta. Keduanya aku berikan secara bersamaan. Guru Cakra[1], hanyalah untuk Guru. Bila seseorang meletakkan Guru pada Guru Cakra, Guru pasti akan melindungi orang itu”. Baba berkata, “Orang-orang yang pergi, mereka  meletakkan orang lain pada Guru Cakra menggantikan Guru. Itulah sebabnya mengapa segala jenis Guru Ninda atau kritikan atau pengkhianatan pada perintah-Nya sangatlah berbahaya bagi seorang Sadhaka.” Baba menekankan hal ini padaku, “Jika seseorang meletakkan-Ku pada Guru Cakranya, ia akan terlindungi oleh-Ku.”

Beliau kemudian bertanya padaku, “Apakah kau ingat sebelum peristiwa ini Aku memberikan DMC diberbagai tempat? Meskipun Aku membicarakan topik yang berbeda, pada dasarnya aku mengulangi dan menjelaskan satu sloka di semua tempat :

Shriina’the ja’nakiina’the ca bheda Parama’tmanih
Tatha’pi mamah sarvashva srii R’ma kamalalocana.”

Baba menjelaskan, “Narada dan Hanuman keduanya adalah bhakta Tuhan. Suatu hari Narada bertanya pada Hanuman, “Oh, Hanuman, mengapa kau tidak memakai nama Narayana?” Hanuman menjawab, “Aku tahu tidak ada perbedaan antara Rama dan Narayana. Keduanya adalah nama Parama Purusa. Tapi Ista mantraku adalah Rama. Jadi aku hanya akan memakai nama Rama.” Baba berkata, “Aku mengatakan di setiap acara DMC bahwa Istamu adalah satu, Adharsa[2]-mu adalah satu dan sama. Kau harus bergerak sendiri menuju Entitas Yang satu itui.”
Baba melanjutkan, “Kau lihat, begitu banyak bhakta yang ada di sana namun hanya sedikit yang terpengaruh. Guru mengatakan kepadamu bahwa Ista dan Adharsamu adalah satu. Kadang-kadang, keraguan dan kebingungan muncul di dalam pikiran bhakta. Seorang bhakta mungkin berpikir, “Guru mengatakan kepada kita untuk membuka sekolah baru, tapi Aku memberi banyak hambatan hingga sekolah tutup. Mengapa? Ia mengatakan kepada kita untuk menjalankan pemilihan, tapi kita kalah. Mengapa organisasi banyak berjuang untuk jumlah uang yang sedikit?” Jika seseorang mencoba untuk menganalisa hal tersebut secara intelektual, mereka akan menjadi sangat frustasi. Saran Guru, meskipun selalu sama, “Menyatulah bersama Istamu. Menyatulah bersama Ideologimu.”

“Jika keraguan dan frustasi semacam itu muncul dalam pikiranmu, jika secara mental kau lelah, maka kau mungkin akan kehilangan pegangan pada tangan Guru. Namun, Guru tak akan membiarkanmu pergi. Ia akan terus membawamu menuju tujuanmu. Namun, jika bhakta berkata, “Aku tidak mempercayai-Mu lagi. Kau bukan Guruku”, hanya ketika itu Guru akan melepaskan tangan bhaktanya, dan ia pasti akan jatuh. Jadi, apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Gurumu. Jangan pernah mencoba mempergunakan pikiranmu yang terbatas untuk menganalisa kualitas Guru yang tak terbatas. Beliau mengetahui apa yang terbaik untukmu, dan Beliau selalu melakukan apa yang terbaik untukmu. Ia tidak akan pernah mengabaikanmu jika kau mempercayai-Nya.”

Baba menjelaskan bahwa tes-tes yang Beliau berikan kepada Margii juga tidak terlalu sulit. Beliau mengatakan bahwa jika kita mempelajari sejarah tantra dan menyadari tes-tes yang diberikan guru tantrik kepada bhaktanya di masa lalu, kita sebaiknya memahami pernyataan ini.

Kemudian, Baba bertanya padaku, “Tahukah kau bagaimana Krsna menguji para Pandava? Kau tak bisa membayangkan. Ia membunuh Barbarik, cucu Bhima (kedua dari Pandava), sesaat sebelum Perang. Barbarik membanggakan diri dihadapan Krsna, “Aku dapat menuntaskan seluruh peperangan dalam sekejap mata.” Ia bahkan membuktikan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melakukan hal ini. Namun, Krsna membunuhnya karena keangkuhannya yang luar biasa. Ini merupakan tes terburuk yang dialami oleh Bhima."

Baba mengatakan bahwa Barbarik dan lainnya yang dibunuh Krsna sebelum atau selama perang Mahabharata adalah para avidya tantrik kuat yang mempergunakan kekuatan spiritual mereka demi keuntungan pribadi mereka. Mereka menanamkan kompleksitas rasa takut di masyarakat dan menekan orang-orang tak bersalah. Krsna, sebagai perwujudan Parama Purusa berkewajiban untuk menghancurkan mereka demi kesejahteraan umat manusia dan penegakkan dharma.

Aku berpikir dalam hati betapa hebatnya pengorbanan Bhima, bahwa ia melewati tes sulit tersebut. Krsna adalah Dharma Guru – Guru dari Dharma, atau kebenaran. Beliau adalah contoh yang ideal bagi kemanusiaan. Baba selanjutnya berkata, “Kemudian Krsna membuat Bhisma terbunuh (kakek Pandava dan Kurava) dengan cara yang bertentangan dengan aturan perang pada saat itu. Ia membunuh Drona (pengajar seni bela diri) dengan cara menipu.”

Baba menjelaskan bagaimana Lord Krsna menguji Arjuna. Ketika kereta perang Karna terperosok di lumpur medan peperangan dan ia turun dari kereta untuk mengangkatnya keluar dari lumpur, Krsna memerintahkan Arjuna untuk membunuh Karna dengan panahnya di saat itu pula. Arjuna menjadi begitu kecewa dengan perintah yang tak adil tersebut, berteriak pada Krsna, “Kau bukan teman dan Guruku yang sesungguhnya. Sebagai temanku, Kau seharusnya tak mengatakan padaku untuk melakukan hal yang tidak benar. Tapi, kau memintaku untuk membunuh kakekku, Bhisma dengan cara yang tidak benar, dan guruku, Dronacarya, juga dengan cara yang bertentangan dengan aturan perang. Aku adalah seorang Ksattrya, seorang pejuang, dan Kau menghasutku untuk membunuh Karna dengan cara demikian yang bertentangan dengan aturan perang. Ini bertentangan dengan dharma seorang ksattriya.”

Krsna dengan tenang menjawab ucapan emosi ini, “Apakah aku sedang mendengarkan filsafat darimu di medan perang ini? Di sini kau hanya harus berperang. Ketika kau muda dan disediakan rumah untukmu serta saudara-saudaramu terperangkap api, siapa yang menyelamatkanmu? Ketika Bhima diracun dan dilempar ke sungai, siapa yang menyelamatkannya? Siapa yang mengatur pernikahanmu dengan Draopadi? Siapa yang menyelamatkan istrimu, Draopadi, ketika ia dihina dan dianiaya, dan Dushasan (salah seorang Kaoravas) ingin menelanjanginya dihadapan seluruh orang-orang yang disebut religius, dharmik, moralist dan senior – siapa yang menyelamatkannya? Apakah semua itu dalam batas kemampuanmu sebagai seorang ksattrya? Ingatkah kau beberapa hari yang lalu ketika tujuh jenderal Kaoravas membunuh putramu, Abhimanyu? Apakah itu sesuai dengan aturan perang?”

Seketika, Arjuna menyadari kesalahannya, penilaian yang keliru. Argumen Krsna yang penuh kekuatan meyakinkan Arjuna atas kebesaran-Nya. Setelah itu ia memperoleh keyakinan penuh pada Krsna dan lulus tes.

Baba menekankan, “Krsna memberi para Pandava begitu banyak penganiayaan, kegalauan, penghinaan dan penderitaan yang tak dapat kau bayangkan!”

Kemudian, Baba menceritakan kisah lainnya untuk menggambarkan tes dari guru tantrik dan menyebutkan nama tiga orang pengikut tantrik – Upamanyu, Utanka dan Aruni.

Upamanyu diperintahkan oleh gurunya untuk memelihara sapinya. Suatu hari, guru meminta agar ia berhenti minum susu dari sapi tersebut, karena ia tidak memberikannya ijin untuk melakukan hal itu. Mengikuti perintahnya, Upamanyu minum hanya dari buih susu di atas belanga. Gurunya kemudian memerintahkan dirinya bahkan untuk berhenti meminum buih susu. Ia mematuhi perintah ini. Untuk bertahan hidup, ia harus mengemis makanan. Setelah beberapa waktu, gurunya memerintahkannya untuk tidak mengemis makanan dari orang lain. Karena ia memiliki keyakinan penuh pada gurunya, Upamanyu mematuhi perintah ini juga. Setelah beberapa waktu, saat ia tak tahan lagi menahan lapar, ia memakan daun-daunan, yang membuatnya buta. Ketika ia berjalan dalam keadaan buta, tanpa disengaja ia tersandung dan jatuh ke dalam sumur kosong.

Sementara itu, ketika sapi kembali tanpa Upamanyu, gurunya pergi mencari, dan pada akhirnya menemukannya dalam kondisi menggenaskan di dasar sumur. Gurunya merasa kasihan padanya, dan dari atas sumur, mengajarkan Upamanyu mantra khusus, yang seketika itu juga menyembuhkan kebutaannya. Upamanyu memanjat keluar sumur dan lantas diberikan inisiasi dan kesadaran spiritual oleh gurunya. Ia telah lulus dari segala macam tes gurunya.

Utanka dikirim untuk tinggal bersama gurunya di usia lima tahun. Ia harus melayani gurunya hingga ia benar-benar puas. Dengan cara ini, ia melewati tahun-tahunnya melayani gurunya. Suatu hari, Utanka tiba-tiba tersandung ketika memikul seiikat kayu. Ia jatuh di dekat aliran sungai. Ketika bangkit, ia melihat cermin dirinya di dalam air dan terkejut melihat rambutnya berubah menjadi abu-abu karena usia tua. Kemudian ia merasa bahwa dirinya telah menghabiskan seluruh hidupnya melakukan pelayanan tanpa mendapatkan kesadaran spiritual, dan menjadi begitu sedih. Sesaat setelah kembali ke ashram, gurunya menginisiasinya dan juga memberikannya pengalaman ilahi samadhi.

Sementara itu, Guru Aruni memerintahkannya untuk merawat ladangnya. Ketika tanggul pembatas ladang bocor, Aruni menahan lubang bocor tersebut dengan tubuhnya. Tetap berada pada posisi tersebut untuk mencegah air masuk, hingga pada akhirnya ia jatuh pingsan. Ia terbaring dalam lumpur dan air sepanjang malam. Keesokan pagi, sang guru pergi mencarinya. Setelah beberapa waktu, ia menemukannya dalam kondisi yang memprihatinkan dan merawatnya hingga sembuh. Ketika sembuh, ia menyatakan bahwa Aruni telah lulus tesnya dan sekarang telah siap untuk inisiasi ke dalam latihan spiritual.

Baba menjelaskan bahwa kekuatan tersembunyi tantrik Ananda Marga juga termasuk tes, yang diberikan dengan cara yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa unsur yang terpenting dari kekuatan tantrik adalah tes  yang diberikan oleh Guru kepada pengikutnya, dan kepuasan penuh dari Guru. Ia menjelaskan bahwa ia juga mempertahankan unsur ini namun mengubahnya ke dalam sistem latihan spiritual Ananda Marga disesuaikan kondisi saat ini.  Di Ananda Marga, mudah sekali mendapatkan inisiasi. Tes dalam hidup hanya datang kemudian ketika berbagai benturan dan permasalahan menghadang aspiran spiritual guna menghambat latihan spiritualnya. Jika keseimbangan latihan spiritualnya terjaga setelah melewati permasalahan-permasalahan kehidupan yang menggulir, aspiran spiritual pada akhirnya diberikan berkah kesadaran spiritual.

Baba menjelaskan lebih lanjut, “Ketika Aku memegang tanganmu, adalah menjadi tugas-Ku untuk membawamu ke tujuan akhirmu. Jika kau tidak mengikuti arahan-Ku, artinya kau telah melepaskan tanganmu dari-Ku. Namun, aku tak dapat melepaskan tangan-Ku darimu. Aku telah menerimamu dan akan membawamu menuju tujuan akhir, baik kau mengikuti perintahku ataupun tidak. Baik kau melakukan sadhana ataupun tidak, tidak jadi soal. Tapi, saat kau mengatakan, “Aku tidak mempercayai-Mu. Aku tidak menerima-Mu sebagai guru-Ku, maka Aku terpaksa harus meninggalkanmu."

Kemudian Baba mengajukan dua pertanyaan kepadaku dan dijawabnya sendiri: “Apakah arti sadhana yang sesungguhnya? Memuaskan Guru adalah sadhanamu. Apa itu Guru Puja? Melaksanakan perintah Guru adalah Guru Puja.”

Penjelasan Baba yang panjang dan rinci sangatlah berarti bagiku. Segala pertanyaan yang sebelumnya membingungkan dan menggangguku sekarang telah lenyap layaknya asap. Kata-kata Baba sekarang telah jelas bagiku. Intuisiku paham mengapa Beliau memberikanku contoh bukit dan jatuh dari ketinggian yang berbeda dan dari benda yang berbeda seperti, sepeda, motor, kereta api, pesawat terbang, dan roket. Aku juga semakin paham mengapa orang-orang tersebut meninggalkan Baba dan akan seperti apa nasib mereka. Sekarang aku mengerti apa arti sadhana yang sesungguhnya. Kita mungkin lupa tugas yang diberikan kepada kita, namun Parama Purusa tidak pernah melupakan tugas dan tanggung jawab-Nya kepada kita.

Berjalan disamping Baba didinginnya udara pagi Patna, aku meratap bahagia. Aku menyadari kasih-Nya yang besar kepadaku, bagaimana Beliau melenyapkan jaring gelap kegalauan pikiranku dan bagaimana Beliau dengan lembut memberikanku pandangan baru mengenai sadhana, menekankan kepasrahan dan kebergantungan penuh pada Sang Guru.



Acarya Tapeshvarananda Avadhuta






    



  









[1] Guru Cakra terletak tepat dibawah kelenjar pineal. Cakra itulah tempat seseorang mengideasikan Guru.
[2] Adharsa berarti ideologi. Tahap dimana pikiran untuk sementara waktu selaras dengan kebahagiaan Kesadaran Murni disebut “bhava” atau idea. Banyak orang akan mendapatkan pengalaman singkat bhava ini dalam kehidupan mereka, namun pengalaman ini tidak terwujud dalam kehidupan bathin atau sikap mereka. Dengan kata lain, bhava ini tidak terwujud dalam ideologi mereka. Namun bagi mereka pada bhakta, yang berada dibawah bimbingan Taraka Brahma, keadaannya berbeda. Mereka mendapatkan bhava dengan Ista Darshan, atau berhubungan dengan Mahasambhuti atau Yang Terkasih. Mereka bisa memperolehnya dengan kontak langsung atau dalam peristiwa kehidupan mereka sehari-hari. Tidak hanya ini, Tuhan membuat para bhakta secara fisik menerima arti bhava atai idea ini, dn menunjukkan kesublimitasnya dalam sikap mereka sehari-hari. Pemahaman mental ini atau perwujudan eksternal arti Ista Darshan, bhava disebut adharsa atau Ideology.

Diterjemahkan oleh dada Vibhakarananda (di Ananda Marga Yoga Bali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar