Selasa, 04 Februari 2014


Vedanti baba

Vedanti baba merupakan salah seorang suci yang ternama di rsikesha. Pondoknya yang terbuat dari lumpur berada di tepi jalan menuju laksmanjhula. Atap pondoknya ditutup plastik untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan. Ada selembar tikar, beberapa bejana dari lumpur, dua potong pakaian, dan selembar selimut dalam gua itu; dan hanya itulah harta miliknya. Biasanya dia duduk atau berbaring di dekat pondoknya. Ketika matahari sangat terik di siang hari, dia akan memindahkan tikarnya di bawah pohon sekitar lima puluh meter dari pondoknya.

Saya pergi mengunjunginya sebelum matahari terbenam di sore hari. Dia sedang berbaring di atas tikar yang digelar di pasir di tepi sungai gangga. Ketika saya sampai di dekatnya, dia memanggil, “mari, mari mendekatlah.”

Saya mengucap salam dan dia bertanya, “dari mana asalmu?”

Jawab saya, “dari selatan.”

Dia tersenyum, “dari selatan atau dari timur?”

Saya membatin, “jika anda tahu, tentulah anda juga tahu keadaan saya.”

Lalu dia meminta saya duduk di dekatnya. Dia berkata, “gurudewa sedang memberi kalian kesempatan untuk melakukan sadhana yang maksimal. Apa pun yang telah dan sedang terjadi adalah bagian dari rencana permainan gurudewa.”

Saya bertanya, “kapan saya akan mendapatkan darshan dengan guru lagi?”

Dia menjawab, “jangan khawatir. Dia akan segera muncul.”

Sesudah itu dia menambahkan, “sekarang teruskanlah perjalananmu. Sangat baik bagimu untuk mendapatkan darshan dan satsaunga dengan para suci di himalaya. Ini juga merupakan kesempatan yang diberikan oleh gurudewa.”


Pagala baba
(orang suci yang sinting)

Satu kilometer setelah pondok vedanti baba, di tepi jalan menuju laksmanjhula itu juga, tinggal seorang suci bernama pagala baba. Dia tidak punya asrama atau tempat tinggal tetap. Satu-satunya harta miliknya hanyalah pakaian yang melekat di badannya. Dia biasa bertingkah aneh. Kadang-kadang dia berlari sepanjang tepi sungai gangga dan kadang-kadang dia memanjat pohon dan bernyanyi.  Di saat lain dia mengejar dan memukul seseorang, atau dia akan menangkap orang itu dan mulai menyembahnya. Itulah mengapa dia dijuluki pagala baba – artinya orang suci yang sinting.

Ketika saya mendekatinya, dia memanggil nama saya, “cidananda, mari. Mari mendekatlah.”

Dia berkata, “lihat. Kau telah menambahkan sesuatu pada sadhana harianmu. Gurudewa telah memberimu siddha kiirtan. Kau harus melakukannya sebelum setiap sadhana. Ketika kau melakukan kiirtan, kau akan merasa bahwa tuhan menemanimu,” dia melanjutkan, “orang memanggilku pagala baba. Jika aku tidak bertingkah seperti ini, orang akan mengangguku untuk meminta ini dan itu. Saat kau berjumpa dengan baba, yang tidak akan lama lagi, sampaikan padanya bahwa pagala baba menyampaikan pranam.”


Jatadhari baba
(orang suci yang menggunakan rambutnya yang dikepang sebagai jubah penutup tubuhnya).

Jatadhari baba tinggal di pondok, sekitar satu kilometer ke arah bukit. Ada mata air kecil di dekat gua dan orang biasa membawakan santapan untuknya. Keistimewaan jatadhari baba adalah dia sangat jarang berbicara. Jika ada orang mohon berkahnya, dia akan mengambil satu helai rambutnya, memberikan pada orang itu, dan berkata, “pekerjaanmu akan terlaksana.”

Saya mengunjungi pondoknya dan memberikan salam. Dia bicara dengan suara sangat halus, mempersilakan saya duduk. Saya duduk di dekatnya dan mencium aroma melati keluar dari tubuhnya.

Dia bertanya, “kau ingin sesuatu?”

Saya menjawab, “tidak, baba. Saya datang hanya untuk menemui anda.”

Dia berkata, “kau ada di jalan yang benar. Teruskanlah. Bhagwan tumhara bhalakarega.” Itu berarti, “tuhan akan melakukan yang terbaik bagimu.”

Di jalan kembali saya melihat seorang pria berdiri dengan satu kaki di bawah pohon, dan yang lain tidur di atas ranjang paku. Karena kami tidak menaruh perhatian pada hatha yoga, saya hanya melewatinya dan tidak singgah di sana.

Sesudah mengunjungi jatadhari baba saya kembali ke parmarthniketan di mana saya menginap.


Mengajarkan sixteen-point pada anak-anak muda

Selama satu bulan di rsikesha saya juga mengunjungi asrama lainnya seperti asrama kailash, asrama maharsi maheshyogi, markas besar divine life society, dan lain-lainnya. Saya menjumpai banyak orang suci dan yogi. Satu hal yang saya perhatikan, tak ada sadhu atau sanyasin yang suka hidup dalam ikatan asrama atau kuil. Mereka lebih suka mendapatkan makanan dari annaksetra, semacam dapur umum yang dikelola oleh berbagai organisasi. Di rsikesha saya mengajarkan bermacam bagian dari sixteen points kepada lima puluh satu praktisi spiritual muda yang datang dalam pencarian akan spiritualitas.


Uttar kashi
Desa pegunungan yang damai

Perjalanan saya semakin menanjak saat meninggalkan rsikesh. Sang sungai terus menceritakan kisah hidupnya di antara bebatuan di kedua tebing, di bawah langit biru yang cerah. Pepohonan indah yang tegak di gunung melambaikan dedaunannya dengan lembut untuk menyambut saya. Kadang-kadang saya dapat melihat puncak himalaya yang berselimut salju sepanjang perjalanan. Pemandangan itu sedamai irama alam semesta.

Beberapa rumah tersebar di pegunungan yang luas itu, membentuk berbagai desa perbukitan. Para penduduknya merupakan rakyat suku perbukitan yang sederhana, di tebing sungai gangga. Di sana-sini terdapat banyak pondok kecil para suci dan pelaku spiritual.

Jalan raya sangat terjal dengan belokan-belokan tajam dan pengemudi bis harus mengemudi dengan penuh konsentrasi. Kami sampai ke tujuan sore hari dan saya pergi ke salah satu asrama. Saya memohon penanggung jawab asrama kailash untuk menginap di sana. Dia menunjukkan keramahannya dan menyambut saya.

Ketika saya duduk dan mengistirahatkan diri, matahari telah sampai di ufuk barat. Saya ingin beristirahat sejenak, namun pikiran saya mendorong untuk melakukan sadhana. Saya melakukan sadhana lama sekali, sampai saya merasa puas. Lingkungan sangat memikat sehingga orang otomatis akan tertarik secara spiritual.

Uttar kashi adalah suatu desa yang terletak di tebing sungai gangga, di jalan menuju gangotrii gomukh yang merupakan hulu sungai gangga. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, ada sangat sedikit asrama dan kuil. Ada pusat pembagian makanan gratis, pasar kecil dan beberapa pondok para yogi dan orang suci. Desa-desa kecil berserakan, letaknya saling berjauhan. Jumlah penduduk pada saat itu antara 3000 sampai 5000 orang termasuk penduduk desa-desa tetangga. Orang-orang di sana sangat sederhana dan berbakti.

Esok paginya saya mengunjungi asrama-asrama lain dan bertemu para swamijii yang terpelajar, yang sibuk dengan pencarian spiritual mereka. Lalu saya kembali ke asrama kailash untuk beristirahat. Di siang hari saya pergi jalan-jalan dan menikmati pemandangan.



Vrksha vasi baba

Di jalan saya melihat seekor monyet menarik baju seorang pejalan kaki yang berjalan di depan saya. Monyet itu menuntun orang itu ke arah sebatang pohon. Saya penasaran untuk melihat apa yang coba dilakukan monyet itu. Maka saya mengikuti mereka.

Monyet itu membawa orang itu ke sebuah pohon dan menunjuk ke atas. Saya mengikuti arah telunjuknya dan melihat sebuah rumah di atas pohon. Itu berupa rumah kayu dengan serambi kecil menjorok ke depan dan seorang sanyasi sedang duduk di sana. Monyet itu memperagakan dengan bahasa isyarat bahwa sanyasi itu ingin makan. Untunglah orang itu membawa dua buah apel. Dia melempar apel-apel itu ke serambi. Sang sanyasi menangkap kedua apel itu, dan mengembalikan satu apel kepada orang tersebut. Lalu sanyasi itu mengambil apel bagiannya, membelahnya jadi dua bagian dan memberikan satu bagian untuk monyet itu.

Dia adalah vrksha vasi baba – orang suci yang tinggal di atas pohon dan melakukan penebusan dosa.


Ekahari baba

Hari berikutnya seorang sanyasi memberitahu saya bahwa dia akan mengunjungi ekahari baba dan menanyakan apakah saya ingin menemaninya. Saya setuju dan kami pergi bersama.

Asrama ekahari baba terletak satu setengah kilometer ke arah pegunungan, menanjak dengan jalan berliku-liku  di tebing sungai gangga. Di perjalanan saya berpikir, “mengapa dia disebut ekahari baba? Saya tahu artinya, sekali makan setiap hari atau satu jenis makanan setiap hari?“

Ketika kami sampai di asrama, ekahari baba sedang duduk dengan pose padmasana yang khas dan kami memberi salam pada sang swamijii. Ekahari baba berperawakan tinggi besar dengan mata berkilau dan wajah bersinar. Asrama itu kecil namun rapi dan bersih, dengan persediaan buah-buahan yang cukup.

Ekahari baba mempersilakan kami duduk. Sesudah beberapa menit dia mulai menjelaskan, “pikiran kalian hanya dapat berpikir satu hal setiap kali; kaki kalian akan menuju hanya satu arah setiap kali, tidak ke beberapa arah sekaligus. Jadi, organ pencernaan kalian dapat mencerna dengan baik satu macam saja setiap kali. Kalau kalian mengamati makhluk hidup lain, kecuali manusia, mereka tidak pernah mencampurkan berbagai jenis makanan sekaligus. Mereka makan satu macam saja setiap kali dan tetap bugar. Hanya manusialah yang, atas nama perkembangan selera, memcampurkan berbagai jenis makanan sekaligus. Hal itu mempengaruhi sistem pencernaan dan mengundang bermacam penyakit. Jadi, rahasia hidup sehat dan bahagia adalah hanya makan satu macam saja setiap kali, cukup istirahat serta berolahraga. Lihat aku. Ada banyak buah-buahan di asrama ini yang dibawakan oleh para bhakta, namun aku makan hanya satu jenis saja setiap kali dan juga menganjurkan kalian untuk makan sekali saja setiap hari. “


Lord shiva dan bunda parvati

Ada dua kuil shiva di uttar kashi. Suatu hari saya sedang berjalan sepanjang sungai gangga dan bertemu seorang sepuh yang merupakan pendeta di salah satu kuil shiva itu.

Berhubung kuil serta pendetanya sama-sama sangat tua, saya bertanya, “swamijii, dapatkah anda menceritakan pengalaman anda dengan lord shiva?”

Dia mulai bercerita, “ayahku adalah pendeta sebelum aku. Ketika aku masih muda, ayah biasa membawaku kemari. Dia mengajarku semua doa untuk shiva, bagaimana melakukan abhisheka (mandi) shiva liunga dan srinagar (dekorasi). Di petang hari kami biasa makan prasadam dan tidur di beranda kuil. Pada malam hari, kadang-kadang aku melihat orang-orang bertubuh raksasa datang kemari.”
Dia berhenti sejenak dan lalu menambahkan, “kemungkinan besar mereka adalah para pengikut shiva yang datang untuk menemuinya di sini. Aku merasa ketakutan, menangis dan lari menjauh. Lalu aku merasa bunda parvati datang dan menenangkanku. Dia mengatakan, ‘jangan takut, anakku. Mereka saudara-saudaramu. Mereka tidak akan menyakitimu.’ aku bangun dan melakukan japa mantra ‘om namah shivayĆ”’.”

“aku mengambil alih tugas kependetaan sesudah ayah wafat, dan sepupuku adalah pendeta di kuil satunya. Aku tidak ingin menikah, jadi aku menjadi sanyasi. Sesudah itu, aku merasa sangat dekat dengan lord shiva.”

“di tengah malam, lord shiva akan datang dengan bunda parvati. Dia membawa trisula di tangannya, menyuruhku untuk ikut dengannya. Kami pergi ke kuil satunya. Dia memasuki kuil itu dan aku tidur di beranda. Mereka datang lagi di pagi hari untuk membangunkanku dan membawaku kembali ke kuilku. Aku akan mulai serangkaian tugas rutinku di kuil setelah itu.”

Dia menambahkan, “kau tahu,  himalaya ini disebut shiva bhumi. Setiap inci tanah ini pernah digetarkan oleh getaran spiritual lord shiva. Kau akan lebih menikmatinya saat kau mendaki semakin tinggi ke gunung itu.”

Sementara dia bercerita, sangat sulit bagi saya untuk tidak mempercayainya, namun hal itu juga sulit dimengerti secara intelek. Lalu saya ingat:

“hariananta hariliila ananta”
Tuhan itu tak terbatas dan penampilannya juga tak terbatas.
Jika dikehendakinya, dia akan muncul di padang gurun, langit atau di kedalaman laut.

Dada Cidananda

Diterjemahkan oleh Ananda Marga Yoga Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar