Vedanti baba
Vedanti baba merupakan salah seorang suci yang ternama di rsikesha.
Pondoknya yang terbuat dari lumpur berada di tepi jalan menuju laksmanjhula.
Atap pondoknya ditutup plastik untuk melindunginya dari terik matahari dan
hujan. Ada selembar tikar, beberapa bejana dari lumpur, dua potong pakaian, dan
selembar selimut dalam gua itu; dan hanya itulah harta miliknya. Biasanya dia
duduk atau berbaring di dekat pondoknya. Ketika matahari sangat terik di siang
hari, dia akan memindahkan tikarnya di bawah pohon sekitar lima puluh meter
dari pondoknya.
Saya pergi mengunjunginya sebelum matahari terbenam di sore hari. Dia
sedang berbaring di atas tikar yang digelar di pasir di tepi sungai gangga.
Ketika saya sampai di dekatnya, dia memanggil, “mari, mari mendekatlah.”
Saya mengucap salam dan dia bertanya, “dari mana asalmu?”
Jawab saya, “dari selatan.”
Dia tersenyum, “dari selatan atau dari timur?”
Saya membatin, “jika anda tahu, tentulah anda juga tahu keadaan saya.”
Lalu dia meminta saya duduk di dekatnya. Dia berkata, “gurudewa sedang
memberi kalian kesempatan untuk melakukan sadhana yang maksimal. Apa pun yang
telah dan sedang terjadi adalah bagian dari rencana permainan gurudewa.”
Saya bertanya, “kapan saya akan mendapatkan darshan dengan guru lagi?”
Dia menjawab, “jangan khawatir. Dia akan segera muncul.”
Sesudah itu dia menambahkan, “sekarang teruskanlah perjalananmu. Sangat
baik bagimu untuk mendapatkan darshan dan satsaunga dengan para suci di
himalaya. Ini juga merupakan kesempatan yang diberikan oleh gurudewa.”
Pagala baba
(orang suci yang sinting)
Satu kilometer setelah pondok vedanti baba, di tepi jalan menuju
laksmanjhula itu juga, tinggal seorang suci bernama pagala baba. Dia tidak
punya asrama atau tempat tinggal tetap. Satu-satunya harta miliknya hanyalah
pakaian yang melekat di badannya. Dia biasa bertingkah aneh. Kadang-kadang dia
berlari sepanjang tepi sungai gangga dan kadang-kadang dia memanjat pohon dan
bernyanyi. Di saat lain dia mengejar dan
memukul seseorang, atau dia akan menangkap orang itu dan mulai menyembahnya.
Itulah mengapa dia dijuluki pagala baba – artinya orang suci yang sinting.
Ketika saya mendekatinya, dia memanggil nama saya, “cidananda, mari.
Mari mendekatlah.”
Dia berkata, “lihat. Kau telah menambahkan sesuatu pada sadhana
harianmu. Gurudewa telah memberimu siddha
kiirtan. Kau harus melakukannya sebelum setiap sadhana. Ketika kau
melakukan kiirtan, kau akan merasa bahwa tuhan menemanimu,” dia melanjutkan,
“orang memanggilku pagala baba. Jika aku tidak bertingkah seperti ini, orang
akan mengangguku untuk meminta ini dan itu. Saat kau berjumpa dengan baba, yang
tidak akan lama lagi, sampaikan padanya bahwa pagala baba menyampaikan pranam.”
Jatadhari baba
(orang suci yang menggunakan rambutnya yang dikepang
sebagai jubah
penutup tubuhnya).
Jatadhari baba tinggal di pondok, sekitar satu kilometer ke arah bukit.
Ada mata air kecil di dekat gua dan orang biasa membawakan santapan untuknya.
Keistimewaan jatadhari baba adalah dia sangat jarang berbicara. Jika ada orang
mohon berkahnya, dia akan mengambil satu helai rambutnya, memberikan pada orang
itu, dan berkata, “pekerjaanmu akan terlaksana.”
Saya mengunjungi pondoknya dan memberikan salam. Dia bicara dengan suara
sangat halus, mempersilakan saya duduk. Saya duduk di dekatnya dan mencium
aroma melati keluar dari tubuhnya.
Dia bertanya, “kau ingin sesuatu?”
Saya menjawab, “tidak, baba. Saya datang hanya untuk menemui anda.”
Dia berkata, “kau ada di jalan yang benar. Teruskanlah. Bhagwan tumhara bhalakarega.” Itu berarti, “tuhan akan
melakukan yang terbaik bagimu.”
Di jalan kembali saya melihat seorang pria
berdiri dengan satu kaki di bawah pohon, dan yang lain tidur di atas ranjang
paku. Karena kami tidak menaruh perhatian pada hatha yoga, saya hanya
melewatinya dan tidak singgah di sana.
Sesudah mengunjungi jatadhari baba saya
kembali ke parmarthniketan di mana saya menginap.
Mengajarkan sixteen-point pada anak-anak muda
Selama satu bulan di rsikesha saya juga
mengunjungi asrama lainnya seperti asrama kailash, asrama maharsi maheshyogi,
markas besar divine life society, dan lain-lainnya. Saya menjumpai banyak orang
suci dan yogi. Satu hal yang saya perhatikan, tak ada sadhu atau sanyasin yang
suka hidup dalam ikatan asrama atau kuil. Mereka lebih suka mendapatkan makanan
dari annaksetra, semacam dapur umum
yang dikelola oleh berbagai organisasi. Di rsikesha saya mengajarkan bermacam
bagian dari sixteen points kepada lima puluh satu praktisi spiritual muda yang
datang dalam pencarian akan spiritualitas.
Uttar kashi
Desa pegunungan yang damai
Perjalanan saya semakin menanjak saat meninggalkan
rsikesh. Sang sungai terus menceritakan kisah hidupnya di antara bebatuan di
kedua tebing, di bawah langit biru yang cerah. Pepohonan indah yang tegak di
gunung melambaikan dedaunannya dengan lembut untuk menyambut saya.
Kadang-kadang saya dapat melihat puncak himalaya yang berselimut salju
sepanjang perjalanan. Pemandangan itu sedamai irama alam semesta.
Beberapa rumah tersebar di pegunungan yang
luas itu, membentuk berbagai desa perbukitan. Para penduduknya merupakan rakyat
suku perbukitan yang sederhana, di tebing sungai gangga. Di sana-sini terdapat
banyak pondok kecil para suci dan pelaku spiritual.
Jalan raya sangat terjal dengan
belokan-belokan tajam dan pengemudi bis harus mengemudi dengan penuh
konsentrasi. Kami sampai ke tujuan sore hari dan saya pergi ke salah satu
asrama. Saya memohon penanggung jawab asrama kailash untuk menginap di sana.
Dia menunjukkan keramahannya dan menyambut saya.
Ketika saya duduk dan mengistirahatkan diri,
matahari telah sampai di ufuk barat. Saya ingin beristirahat sejenak, namun
pikiran saya mendorong untuk melakukan sadhana. Saya melakukan sadhana lama
sekali, sampai saya merasa puas. Lingkungan sangat memikat sehingga orang
otomatis akan tertarik secara spiritual.
Uttar kashi adalah suatu desa yang terletak
di tebing sungai gangga, di jalan menuju gangotrii gomukh yang merupakan hulu
sungai gangga. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, ada sangat sedikit asrama
dan kuil. Ada pusat pembagian makanan gratis, pasar kecil dan beberapa pondok
para yogi dan orang suci. Desa-desa kecil berserakan, letaknya saling
berjauhan. Jumlah penduduk pada saat itu antara 3000 sampai 5000 orang termasuk
penduduk desa-desa tetangga. Orang-orang di sana sangat sederhana dan berbakti.
Esok paginya saya mengunjungi asrama-asrama
lain dan bertemu para swamijii yang terpelajar, yang sibuk dengan pencarian
spiritual mereka. Lalu saya kembali ke asrama kailash untuk beristirahat. Di
siang hari saya pergi jalan-jalan dan menikmati pemandangan.
Vrksha vasi baba
Di jalan saya melihat seekor monyet menarik
baju seorang pejalan kaki yang berjalan di depan saya. Monyet itu menuntun
orang itu ke arah sebatang pohon. Saya penasaran untuk melihat apa yang coba
dilakukan monyet itu. Maka saya mengikuti mereka.
Monyet itu membawa orang itu ke sebuah pohon
dan menunjuk ke atas. Saya mengikuti arah telunjuknya dan melihat sebuah rumah
di atas pohon. Itu berupa rumah kayu dengan serambi kecil menjorok ke depan dan
seorang sanyasi sedang duduk di sana. Monyet itu memperagakan dengan bahasa isyarat
bahwa sanyasi itu ingin makan. Untunglah orang itu membawa dua buah apel. Dia
melempar apel-apel itu ke serambi. Sang sanyasi menangkap kedua apel itu, dan
mengembalikan satu apel kepada orang tersebut. Lalu sanyasi itu mengambil apel
bagiannya, membelahnya jadi dua bagian dan memberikan satu bagian untuk monyet
itu.
Dia adalah vrksha vasi baba – orang suci yang
tinggal di atas pohon dan melakukan penebusan dosa.
Ekahari baba
Hari berikutnya seorang sanyasi memberitahu
saya bahwa dia akan mengunjungi ekahari baba dan menanyakan apakah saya ingin
menemaninya. Saya setuju dan kami pergi bersama.
Asrama ekahari baba terletak satu setengah
kilometer ke arah pegunungan, menanjak dengan jalan berliku-liku di tebing sungai gangga. Di perjalanan saya
berpikir, “mengapa dia disebut ekahari baba? Saya tahu artinya, sekali makan
setiap hari atau satu jenis makanan setiap hari?“
Ketika kami sampai di asrama, ekahari baba
sedang duduk dengan pose padmasana
yang khas dan kami memberi salam pada sang swamijii.
Ekahari baba berperawakan tinggi besar dengan mata berkilau dan wajah bersinar.
Asrama itu kecil namun rapi dan bersih, dengan persediaan buah-buahan yang
cukup.
Ekahari baba mempersilakan kami duduk.
Sesudah beberapa menit dia mulai menjelaskan, “pikiran kalian hanya dapat
berpikir satu hal setiap kali; kaki kalian akan menuju hanya satu arah setiap
kali, tidak ke beberapa arah sekaligus. Jadi, organ pencernaan kalian dapat
mencerna dengan baik satu macam saja setiap kali. Kalau kalian mengamati makhluk
hidup lain, kecuali manusia, mereka tidak pernah mencampurkan berbagai jenis
makanan sekaligus. Mereka makan satu macam saja setiap kali dan tetap bugar.
Hanya manusialah yang, atas nama perkembangan selera, memcampurkan berbagai
jenis makanan sekaligus. Hal itu mempengaruhi sistem pencernaan dan mengundang
bermacam penyakit. Jadi, rahasia hidup sehat dan bahagia adalah hanya makan
satu macam saja setiap kali, cukup istirahat serta berolahraga. Lihat aku. Ada
banyak buah-buahan di asrama ini yang dibawakan oleh para bhakta, namun aku makan hanya satu jenis saja setiap kali dan juga
menganjurkan kalian untuk makan sekali saja setiap hari. “
Lord shiva dan bunda parvati
Ada dua kuil shiva di uttar kashi. Suatu hari
saya sedang berjalan sepanjang sungai gangga dan bertemu seorang sepuh yang
merupakan pendeta di salah satu kuil shiva itu.
Berhubung kuil serta pendetanya sama-sama
sangat tua, saya bertanya, “swamijii,
dapatkah anda menceritakan pengalaman anda dengan lord shiva?”
Dia mulai bercerita, “ayahku adalah pendeta
sebelum aku. Ketika aku masih muda, ayah biasa membawaku kemari. Dia mengajarku
semua doa untuk shiva, bagaimana melakukan abhisheka
(mandi) shiva liunga dan srinagar (dekorasi). Di petang hari kami
biasa makan prasadam dan tidur di
beranda kuil. Pada malam hari, kadang-kadang aku melihat orang-orang bertubuh
raksasa datang kemari.”
Dia berhenti sejenak dan lalu menambahkan,
“kemungkinan besar mereka adalah para pengikut shiva yang datang untuk
menemuinya di sini. Aku merasa ketakutan, menangis dan lari menjauh. Lalu aku
merasa bunda parvati datang dan menenangkanku. Dia mengatakan, ‘jangan takut,
anakku. Mereka saudara-saudaramu. Mereka tidak akan menyakitimu.’ aku bangun
dan melakukan japa mantra ‘om namah shivayĆ”’.”
“aku mengambil alih tugas kependetaan sesudah
ayah wafat, dan sepupuku adalah pendeta di kuil satunya. Aku tidak ingin
menikah, jadi aku menjadi sanyasi.
Sesudah itu, aku merasa sangat dekat dengan lord shiva.”
“di tengah malam, lord shiva akan datang
dengan bunda parvati. Dia membawa trisula di tangannya, menyuruhku untuk ikut
dengannya. Kami pergi ke kuil satunya. Dia memasuki kuil itu dan aku tidur di
beranda. Mereka datang lagi di pagi hari untuk membangunkanku dan membawaku
kembali ke kuilku. Aku akan mulai serangkaian tugas rutinku di kuil setelah
itu.”
Dia menambahkan, “kau tahu, himalaya ini disebut shiva bhumi. Setiap inci
tanah ini pernah digetarkan oleh getaran spiritual lord shiva. Kau akan lebih
menikmatinya saat kau mendaki semakin tinggi ke gunung itu.”
Sementara dia bercerita, sangat sulit bagi
saya untuk tidak mempercayainya, namun hal itu juga sulit dimengerti secara
intelek. Lalu saya ingat:
“hariananta hariliila ananta”
Tuhan itu tak terbatas dan penampilannya juga tak terbatas.
Jika dikehendakinya, dia akan muncul di padang gurun, langit atau di
kedalaman laut.
Dada Cidananda
Diterjemahkan oleh Ananda Marga Yoga Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar